Rembulan masih terlihat utuh. Purnama baru beranjak
pergi. Ramadhan tahun ini belum akan berakhir. Aku ingat, saat itu dini hari.
Tadarus al-Qur’an sudah takterdengar lagi. Fajar sadik akan segera kembali
membawa mentari. Sementara itu, aku dan istriku larut dalam bahagia. Mata kami
berkaca-kaca. Senyum kami mengembang. Ya, benar bro, bahagia itu taktertakar
dalam hitungan dan timbangan apapun. Bahagia itu bercampur haru, haru sekali.
Kugenggam erat tangan istriku. Kucium tangannya. Kukecup keningnya. “Terima
kasih sayang...” ucapku. Takjemu kulihat hasil test pack kehamilan itu. Garis
dua merah membentang pendek. Dua garis merah yang kami tunggu-tunggu selama
ini. Kubaca petunjuk manual penggunaan test pack itu. Kubaca dan kubaca lagi,
hingga kuyakin bahwa istriku hamil. al-Hamdulillah.
Pagi-pagi selepas subuh, kutelpon Ibu serta mamiq dan
mamaq mertuaku. Kukabari mereka tentang berita bahagia ini. Enam bulan menanti,
kabar inilah yang aku anggap paling membahagiakan selama pernikahan kami.
Lebih-lebih mertuaku, kuyakin inilah berita yang mereka berdua paling
tunggu-tunggu. Maklumlah bro, mamiq mertuaku sudah lumayan lingsir, tua.
Kututurkan sahabat dan teman kerjaku di kantor. Kuceritakan kepada mereka semua
dengan bangga, sebangga-bangganya.“Kini aku sudah siap menjadi ayah” gumamku
dalam hati.
Hari-hari kami semakin indah. Kurenungkan segala bentuk
kasih-sayangNya di tahun itu, tahun 2012. Tahun itu adalah tahun penuh hadiah
dari-Nya. Nikmat-Nya datang bertubi-tubi. Bahkan tanpa jeda. Di tahun itu, aku
terpilih menjadi wisudawan terbaik utama. Rektor pun memeberiku beasiswa untuk
lanjut studi S2. Jenjang pendidikan yang aku aminkan hampir dalam setiap
do’aku. Tidak hanya itu, rektor juga memberiku hadiah tabanas. Memang,
jumlahnya tidak banyak, namun cukup untuk skadar berbagi. Tidak lama berselang,
Allah kembali memperlihatkan kebesaran.Nya. Dia tetapkan hatiku untuk seorang
bidadari jelita, solehah, cerdas, dan berketurunan bangsawan. Dia permudah
proses pernikahan kami, yang terikat adat dan tata kerama kaula bangsawannya.
Tidak hanya itu, kabar baik kembali datang menyusulku. Aku dapat kabar bahwa
aku diterima kerja di almamaterku, tempat aku ngampus dulu. Tidak sampai di
sini. Istriku pun mendapat kesempatan kuliah S2 dengan biaya penuh dari
mamiq-mamaq mertuaku. “Ya Allah... aku benar-benar merasa menjadi menantu
kesayangan mereka” hatiku berbisik dalam syukur takterperi.
Rektor, dengan beasiswanya telah mendudukkan aku di
jenjang S2. Mamiq-Mamaqku dengan sayangnya, telah mendudukkan istriku di
jenjang S2, bersamaku. Hari itu, Aku taktahu hari apa. Yang kami tahu, hari itu
adalah hari ujian seleksi masuk pascasarjan. Kami bergegas, takpeduli hari apa.
Kami bersiap-siap menuju lokasi ujian. Hati kami berbunga-bunga dibarengi
perasaan nervous, deg-degan. Kuhangatkan sepeda motor bututku. Kugas
pelan-pelan. Pelan-pelan saja, selebihnya kencang namun tetap terkendali.
Kupersilahkan istriku naik sepeda motor merah marun itu. Jika warna motorku
diceritakan, sungguh ia memberikan kesan indah. Namun jika dilihat melotot,
sungguh mengharukan. Merahnya hampir pudar. Ban hitamnya sudah mengikis. Kedua
kaca spionnya telah longgar diputar-putar ketika santri-santri pondokku
bercermin. Bahkan spion kanannya sudah kucopot, karena taktegak lagi.
Kutinggalkan spion kirinya, agar aku bisa tersenyum lega jika polisi bersama
sekutunya melakukan razia gabungan. Sebagian mur dan bautnya copot dan jatuh di
jalan. Mesinnya pun sudah terdengar renta. Sudah takdapat kuhitung berapa kali
ia mati, mogok di jalan raya. Memalukan? Tidak bro, aku sangat menikmatinya.
Hingga saat ini pun, motor perjuangan itu masih setia mengantar kami ke
sana-kemari. Ya ke sana-kemari, tapi bukan mencari alamat palsu.
Motor sudah kuhidupkan dan kuhangatkan. Kini kami siap
berangkat menjemput masa depan. Kupersilah istriku layaknya Putri Cenderela
menaiki kereta kencana. “Pelan-pelan sayang... ayang kan lagi hamil...” kataku
romantis, sambil kutuntun. Aih... pengantin baru mah begitu orangnya,bisik
hatiku. Pagi yang cerah, udara yang segar dan senyum ceria santriku mengiringi
perjalanan kami. Kami berdo’a atas perjalan berpahala ini, meminta ijin
kepada-Nya, Bismillahi Tawakkaltu ‘Alallah- dengan nama Allah kuberserah diri
kepada-Nya. Istriku mengamininya di belakang.
Dua hari kami bolak-balik dari pondok ke kampus, menaiki
sepeda motor butut merah marun itu, menikmati indahnya persawahan di sisi
kiri-kanan kami, menikmati setiap klakson ketergesa-gesaan para pekerja
kantoran, menikmati kepulan asap dari knalpot pemotor, menikmati hitungan detik
lampu merah trafick laight. Semua kami nikmati dengan suka cita. Perjalanan 30
menit itu terasa sekejap mata. Hati kami telah teratmosfer dengan kebahagiaan
itu, kebahagiaan atas kehadiran janin lucu kami. Terbayang dalam benak, jika
bayi kami telah lahir nanti. Terbayang azan pertama yang akan kumandangkan di
telinga kanannya dan iqamat di telinga kirinya. Terbayang tangisan lucunya.
Terbayang tangan dan kaki mungilnya. Terbayang senyum-tawa lucunya. Terbayang
panggilan “ayah” dari mulut mungilnya. Terbayang indah tatapan malunya.
Eeeeeeeh... kutarik nafas panjang. Indah sekali. Bahagia takterbayang. Menit
ketiga puluh, kami sampai di halaman parkir kampus. Kami langsung menuju ruang
ujian. Lagi-lagi Allah memberikan jalan bagi kami untuk terus bersama. Tempat
duduk kami berdekatan. Dekat sekali. Kutengok ke belakang. Ternyata persis di
belakangku.
Ujian telah purna kami tunaikan. Lelahnya telah
terbayarkan. Kami berdua lulus masuk pascasarjana. Kami bergegas pulang. Kami
kabari orang tua dan mertua kami. Kami larut dalam bahagia. Tidur kami demikian
pulas, mengqada’ tidur yang takterpuaskan, karena ujian pascasarjana itu. Kami
tertidur dalam senyum, mengenang setiap kemudahan yang Dia berikan, hingga aku
terbangun dalam keadaan terkejut. Terkejut sekali. Istriku mengalami pendarahan.
Aku panik dalam pasrah menunggu datangnya pagi. “Ya Allah selamatkan janin
kami...”, tangisku dalam hati.
Kuingat hari itu hari Minggu. Para bidan menutup
rapat-rapat pintu praktiknya. Para dokter kandungan jelas-jelas menulis di
plangnya “Hari Minggu dan Hari Libur Nasional, TUTUP”. Poli kandungan di
puskesmas pun tutup. Hanya ruang IGD yang selalu terbuka 24 jam, tapi itu bukan
pilihan kami. Aku mulai putus asa, namun tidak menjadi halangan untuk berpikir.
Ya, ya, ya,.. aku manggut-manggut. Aku teringat seorang bidan yang pertama kali
memeriksa kehamilan istriku. Dengan perasaan senang, kami bergegas menuju bidan
cantik dan berperawakan langsing itu. Tak perlu kusebutkan namanya bro. Kami
telah sampai di halaman sempit rumah dinasnya. Kuberi salam berkali-kali, namun
tak ada jawaban. Kucoba melihat ruang paraktiknya, ternyata takada seorang pun
di sana. Kosong, hanya kosong yang kutemukan. Kami tunggu bidan ramah itu
dengan penuh harap. Kami berharap ada kabar baik yang akan disampaikannya. Kabar
baik tentang istriku dan buah hati kami. Harapan itu memasung kami untuk
menunggu bidan baik hati itu. Menunggunya lama, lama sekali.
Setelah penantian yang lama, tiba-tiba muncul seorang
gadis cilik yang kuduga anaknya. Gadis cilik berumur sekitar 11 tahun itu
adalah putrinya. Ia bertutur kalau ibunya, si bidan yang aku anggap baik itu,
sedang tidur. Kucoba memelas kepada gadis kecil itu agar memberi tahu ibunya.
Si gadis kecil masuk ke dalam rumah. Entah apa yang ia bicarakan dengan ibunya.
Kami di luar masih menunggu, layaknya pasien yang dianggap tak memiliki duit
untuk berobat. Tiba-tiba dengan raut muka kusut, bidan itu keluar. Kulihat
wajahnya masih basah. Kuyakin ia benar-benar baru bangun setelah berjam-jam
kami menunggunya, setelah berulangkali salam kami ucapkan. Bidan macam apa
kau!, kataku dalam hati. Inikah sumpah profesimu untuk melayani masyarakat. Kau
bahkan tega membiarkan istri dan bayiku kesakitan. Kutahu kau telah mendapatkan
penghargaan dari Bapak Presiden sebagai bidan teladan desa, karena itu kutaruh
harapan besar padamu. Kini, kutahu semuanya palsu. Penghargaan yang kau dapat
hanya kebetulan semata. Presiden ataukah aku yang salah menilaimu. Yang jelas
aku marah. Hatiku besumpah serapah. Bibirku mulai gemetar. Kutahan marahku.
Kutidak ingin puasaku batal. Ku takingin istriku semakin panik dan tertekan.
Lalu kujelaskan bahwa istriku mengalami pendarahan. Bidan itu masih terlihat
cemberut. Ia merasa terganggu dengan kehadiran kami. Padahal ia adalah bidan
desa. Ia dikontrak di Polindes dengan gaji besar oleh negara. Ia harus siap
melayani masyarakat kapan pun. Lebih-lebih kami datang di pagi hari, bukan
tengah malam. Ini sudah bukan urusan saya, kata bidan bermuka t*i itu dengan
ketus. Ia menghakimi kami tanpa memeriksa istriku, tanpa memeriksa darah dan
denyut jantung istriku. Apalagi kandungannya. Kuminta saran, namun dijawabnya
dengan nada sinis, sinis sekali. Kami hanya bersabar. Kami tetap tersenyum pada
bidan itu, walaupun hati kami menangis. Bulsheet! Seketika itu anggapan baik, ramah,
cantik dan langsing untuk bidan itu menjadi runtuh. Anggapan itu runtuh dan
sulit dibangun kembali. Namun maaf telah kami beri, sebelum luka hati kami
mengering.
Walau kami tahu poli kandungan di Puskesmas pasti tutup,
lantaran hari itu adalah Hari Minggu, kami tetap nekat ke sana. Kami langsung
menuju runag Unit Gawat Darurat (UGD). Suasana Puskesmas terlihat sepi. Hanya
ada dua perempuan yang kami temukan. Salah satu di antaranya adalah dokter muda
yang masih praktik. Iru kutahu dari label namanya “dokter muda”. Kuduga kuat
jika dokter perempuan muda itu masih amatiran, baru belajar. Kutahu itu semua
dari penjelasannya yang serba meragukan. Namun satu hal yang aku suka, dokter
perempuan muda itu sangat sopan dan ramah. Ia juga tahu diri bahwa ia adalah
dokter muda. Ia pun sekadar memberi istriku obat penghilang rasa nyeri. Hari
ini poli kandungan tutup. Hari ini Hari minggu, jadi dokternya libur. Besok
pagi mas sama mbaknya datang lagi ya... ini obat sekadar penghilang rasa nyeri
saja, kata dokter muda itu sambil menulis aturan minumnya.
Kami bergegas pulang ke pondok. Dalam kondisi seperti itu
aku berusaha menenangkan istriku. “Ayang ga’ usah puasa dulu geh...” ucapkan
lembut. Kubergegas menyalakan kompor alumunium itu. Kucari sesuatu yang bisa
dimasak. Kudapati ikan teri, yang beberapa hari lalu dibeli istriku. Kugoreng
serenyah-renyahnya, agar rasanya lebih gurih. Lalu sekali ini aku memasak
setelah sekian tahun off. Aku sudah tidak yakin lagi, dapat memberikan takaran
bumbu yang pas. Do’a pun kupanjatkan, agar lauk yang kumasak selezat buatan
istriku. Jika tidak, minimal 50 persen. Itu sudah cukup memuaskan aku sebagai
koki amatiran. Lauk teri telah siap dihidangkan. Kuambilkan istriku nasi yang
sudah kumasak semalam. Kuhidangkan bersama lauk teri itu. Kusuapi sendok demi
sendok. Ia demikian menikmatinya.“Yang... masakannya ayang enak sekali. Aku
baru tahu kalau ayang pinter masak”, kata istriku memuji masakanku. Aku tersipu
malu. “ayang minum obat geh...” kupinta ia untuk minum obat lalu istirahat.
Apa yang kami alami takberani kami ceritakan kepada
siapapun. Ibu dan mamaq-mamiq mertuaku pun takkuberi tahu. Bahaya bro kalau aku
beritahu mereka. Salah-salah aku yang diamuk. Ah... aku takut kena amuk massa
keluargaku. Hari Minggu dan Malam Senin kami nikmati dalam balutan do’a dan
harap. Berdo’a dan berharap agar jabang bayi kami dapat diselamatkan.
Lebih-lebih malam itu adalah bagian dari 10 malam terakhir Bulan Ramadhan. Kami
berharap Lailatul Qadar akan mengunjungi kami. Kami panjatkan do’a dengan bahasa
Ibu, Bahasa Sasak. Do’a dengan bahasa itulah, aku merasa benar-benar berdo’a.
Do’a yang tidak hanya di mulut belaka, namun jiwa pun ikut berdo’a dan
mengamini.
Shalat Subuh telah kami dirikan. Do’a telah kami
panjatkan. Pengharapan dalam lafaz amin telah mengiringi setiap penggal do’a
kami. Sementara itu, semesta perlahan bangkit dari tidurnya. Burung-burung
takbertuan telah riuh berkicau di antara rerindangan pohon beringin. Ayam
berkokok saling bersahutan di belakang pondok kami jelas terdengar, riuh sekali.
Mereka yang berpuasa masih terlelap, setelah menunaikan Shalat Subuh. Ada pula
yang masih terlelap pulas tanpa menghiraukan Shalat Subuh. Padahal shalat
adalah modal dan puasa adalah untung. Tidak mungkin untung itu ada jika modal
belum diperoleh.
“Yaaaaang... siap-siap geh...! kita langsung ke
puskesmas” kuingatkan istriku untuk segera bersiap-siap. Aku sendiri sudah siap
sedari subuh tadi. Kuhidupkan dan kuhangatkan motor bututku seperti biasa. Bila
sudah siap kupersilahkan istriku layaknya Putri Cenderela menaiki kereta
kencana. Kukemudi pelan-pelan. Pelan sekali. Kuberusaha untuk berhati-hati.
Sangat hati-hati. Perjalanan 5 menit telah mengantarkan kami di area parkir
Puskesmas dekat pasar itu. Kududukkan istriku di sebuah kursi panjang berwarna
biru muda. Kursi panjang yang menjadi ciri khas rumah sakit. Kuyakin kursi
panjang, yang terbuat dari kayu atau besi itu khusu tempat duduk pasien. Aku
langsung mendaftarkan istriku di loket. Kuberitahu jika istriku ingin memeriksa
kandungannya. Kira-kira 5 menit aku menunggu. Aku diberikan kartu berwarna
merah muda. Di kartu merah itu tertera nama istriku, umur dan poli tujuannya.
Kami langsung menuju poli kandungan. Di sana kami
mendapati banyak ibu-ibu bunting. Di antara mereka ada yang didampingi suami. Ada
juga yang datang sendiri. Kami duduk di atas kursi panjang, khsusus pasien di
depan poli kandungan itu. Seorang bidan meminta kami menunggu, antri. Sambil
menunggu giliran dipanggil, kami mencoba untuk bersikap ramah dengan ibu-ibu
hamil itu. Kulontarkan senyum kepada mereka. Aku duduk berdampingan dengan
istriku. Kulihat senyum istriku mengembang walaupun wajahnya terlihat pucat
pasi. Dapat kuterka perasaannya bercampur aduk menjadi satu. Kuyakin ia cemas.
Ia khawatir dengan janin yang dikandungnya. Sungguh takmampu ia sembunyikan
raut wajah cemas itu dariku. Aku terlampau mengenalinya. Aku telah mengenalinya
sebagaimana aku mengenali diriku sendiri. Perasaan chemistry, nyambung di
antara kami berdua, membuatku lebih cepat mengenal jiwanya. Sungguh cinta yang
tumbuh halal dan distempel oleh restu orang tua, kuyakin itulah jawabannya.
Tiba-tiba, dari dalam ruang poli kandungan itu, nama
istriku dipanggil. Aku bergegas mengantarnya. Kududukkan istriku di kursi
tunggal itu. Aku hanya berdiri di sampingnya. Tensi darahnya diperiksa oleh
seorang bidan gembrot. Tidak sekadar gembrot matanya pun melotot. Wajahnya
terlihat antagonis. Jilbab dan seragam putih yang ia kenakan takmampu
menjadikannya sebagai bidan yang anggun lagi mempesona. Terpancar aura cemburu di
mukanya. Aku menduga ia cemburu melihat orang cantik. Atau mungkin ia cemburu
melihat kemesraan suami-istri yang datang memeriksa. Namun mungkin yang paling
benar, ia cemburu melihat ibu-ibu hamil yang masih terlihat langsing, sedangkan
ia demikian gembrot sekalipun tidak hamil. Bagaimana jika dia hamil? Aku tidak
berlebihan bro. Bidan gembrot itu terlihat sebagai pemarah yang ulung. Beberapa
menit di sampingnya, berapa pasien yang ia damprat. “Makanya kalau sakit.
Jangan hamil. Enak aja waktu buat. Saat melahirkan kamu sakit meringis-ringis”
ucapnya dengan nada marah. Aku taksanggup melihat raut muka bidan sensitif itu.
Aku keluar dari kamar poli kandungan. Aku berharap istriku tidak
dimaki-makinya. Eh, ternyata ia pun dimaki juga, “banga’(bodoh), sini! Aku
bukan mau periksa suami kamu. Aku mau periksa kamu”, kata bidan berukuran pintu
gerbang itu. Bulsheett!
Setelah beberapa menit, aku dipanggil masuk. Istriku
sudah berbaring hendak di-USG. Perasaanku tidak menentu. Harap-harap cemas
bergelayut di atas langit-langit sukmaku. Kuyakin istriku pun demikian.
Kufokuskan mataku di layar monitor USG itu. Kuhanya melihat gambar hitam putih.
Aku takpaham arti gambar-gambar yang ditampilkan. “pak janinnya sudah mau
jatuh” kata operator USG itu singkat. Aku terdiam. Aku masih berusaha mencerna
ucapan singkat itu. Kupinta penjelasan lebih rinci. “ya... ia istrinya harus
dikuret” katanya singkat lagi.
Kami keluar poli kandungan sempit itu. Takingin
kuteteskan air mataku setitik pun. Tapi takdapt kupungkiri, dadaku terasa amat
sesak. Ada raung tangis yang tertahan dalam sekali. Aku larut dalam harapan dan
bayang-bayang indah jika aku menjadi seorang ayah. Sebagai suami aku
bertanggung jawab terhadap istriku. Kami berdiskusi untuk tahap selanjutnya.
Kami tanya salah satu bidan juru kuret mereka.
“Kalau kuret di puskesmas ini, apa kita dibius” tanyaku.
“Di sini ndak ada yang dibius pak...” jawabnya.
“Trus gimana? Aku lanjut bertanya
“Ya... langsung dikuret, ini alat-alatnya” jawab juru
kuret sadis itu, sambil menunjukkan peralatan horornya. Ada gunting tajam
memanjang. Ada gunting tajam pendek. Ada besi panjang dan ujungnya ceper.
Kuduga besi itu alat pengkuret utama. Ada banyak besi yang takdapat kuceritakan
bro. Semuanya besi menyeramkan. Kami diperlihatkan alat-alat yang lazim
digunakan saat operasi, seperti yang kutonton di tv-tv. Menyeramkan bro. Terasa
suasana horor menyelimuti pikiran kami.
Melihat alat-alat itu istriku menjadi syok. Terlebih
proses kuret dilakukan tanpa pembiusan. Aku pun demikian. Aku bahkan bergidik melihat
alat-alat kuret itu. Aku takdapat membayangkan bagaimana sakitnya istriku dikuret tanpa dibius terlebih dahulu. Ah,
aku taksanggup. Sekali lagi aku taksanggup. Aku kembali masuk ke ruang poli
kandungan itu. Kuminta paksa surat rujukan. Kuingin istriku dikuret dalam
keadaan dibius dan tanpa rasa sakit. Berapapun biayanya. Kutahu biaya kuret di
Puskesmas murah-meriah, tetapi sakitnya lahir batin takdapat ditanggung. Bidan
itu pun membuatkan kami surat rujukan kuret. Kuminta istriku dirujuk di rumah bersalin
yang bagus. Tak peduli bayarannya berapa. Uang dapat dicari entah dengan
meminjam sekalipun. Istri baik menurut perhitunganku amat sulit dicari, seumur
hidup sekalipun. Kejadian di Puskesmas itu berjalan sangat cepat. Aku juga
takingin larut dalam kesedihan. Aku hanya berpikir saat ini tentang apa yang
terbaik untuk istriku. Takkupikirkan biaya yang harus kurogoh. Semuanya demi
istriku. Demi dia. Jika janin itu takselamat, istriku harus busaha
kuselamatkan.
Proses kuret begitu cepat. Kurang lebih lima menit berada
di ruang kuret, istriku sudah keluar, namun masih dalam pengaruh obat bius.
Kududuk di sampingnya, menunggunya hingga siuman. Kutatap wajah istriku.
Wajahnya masih terlihat letih. Wajahnya masih terlihat pucat. Tangannya belum
bergerak. Kakinya masih terbujur kaku. Matanya masih tertutup rapat, terbius
nyenyak. Nyenyak sekali. Tiba-tiba ia terbangun. Ia menatap mataku penuh iba.
Air matanya mengalir dalam tangis yang tertahan. Takmampu ia bendung kesedihan
itu. Ia meminta maaf padaku. Tangan lembutnya menggenggam erat tangan kasarku.
Punggung dan telapak tanganku dikecupnya lama. Lama sekali. Perasaanku
menangkap sinyal bahwa ada khilaf menjadi sesal taktermaafkan. Ia sesali
ketidakmampuannya menjaga janin kami. Ia sesali suaminya tertunda menjadi
seorang ayah. Ia sesali Ibu dan mamaq-mamiq kami tertunda menjadi ninik.
Kuyakin iapun sangat menyesali dirinya tertunda menjadi seorang mamaq. Luapan
penyesalan itu hening. Istriku tertidur lagi. Tertidur dalam penyesalan
takterperi.
Sudah dua minggu peristiwa pilu itu terjadi. Istriku
berangsur-angsur pulih dan mandiri. Kudapati senyum cerianya lagi. Aku dan
keluarga terus-menerus memberinya motivasi. “ini sudah hikmahnya, kalian
disuruh kuliah S2 dulu. Besok aja lihat anak, kalau sudah selesai kuliah. Kamu
pasti hamil. Anak-anakmu akan begerubusan (melahirkan terus menerus)” kata-kata
itu yang sering aku dengar dari mamaq mertuaku. Mamaq mertuaku layaknya
motivator. Suaranya lantang. Kata-katanya menyakinkan. Pemikirannya luas, jauh
ke depan. Ia pandai bermain logika. Ia banyak belajar dari pengalaman. Ia juga
pemberani. Berapa laki-laki yang ia damprat, jika lakunya takbaik. Pengalaman
telah mengantarkannya menjadi wanita yang cerdas. Namun kau tahu bro ia hanya
lulusan SMP. Paket C lagi. Tentang cerita uniknya, nanti kuceritakan bro,
sekomplitnya.
Motivasi mamaq, kami letakkan jauh di dalam palung hati
kami. Kini aku dan istriku fokus kuliah. Pascasarjana bukan sembarang jenjang
kuliah. Ada setumpuk tugas individu sedang menunggu kami. Ada tumpukan buku-buku
refrensi yang harus kami baca dan me-review-nya dalam kerangka ringkasan. Kami
nikmati tugas bertumpuk-tumpuk itu. Kuanggap itu bagian dari refreshing.
Refreshing ilmiah tepatnya. Banyak orang menganggap kami mengalami stress,
sehingga hampir dua tidak ada tahun tanda-tanda kehamilan istriku. Kami takmau
tertekan,meskin kenyataannya kami tertekan. Sebutan “mandul” berulang kali kami
dengar dari mulut orang-orang kampungku. Kami berusaha rileks, tersenyum dan
menjalani hidup ini penuh bahagia. Kami belum ingin ke dokter, baik untuk
sekadar berkonsultasi, curhat ataupun program kehamilan. Ah, semua tuduhan itu
buruk itu kami telan mentah-mentah. Takpernah kami balas mereka dengan
caci-maki. Kami hanya bisa nyengir, “hi... kami masih S2. Nanti setelah wisuda
baru kami ke dokter meriksa”. Anggapan orang-orang awam itu semakin membuat
pikiranku pening. “ooo.... jadi sedang menunda kehamilan” celetuk mereka.
Sungguh ujian jiwa yang menguras pikiran dan perasaan.
Umpatan demi umpatan sebagai “pasangan mandul” kami
terima ikhlas dengan senyuman. Kami takmau umpatan itu menjadi beban pikiran
kami dan keluarga. Pernikahan ini untuk dinikmati. Ada atau tidak anak, bagi
kami pernikahan atas dasar cinta dan restu orang tua adalah anugerah yang
paling berharga. Ya, pernikahan kami adalah pernikahan tentang hidup bahagia.
Pernikahan kami adalah tentang kesetiaan, saling pengertian, komunikasi
romantis, saling mengisi, kekompakan, selalu ada untuk pasangannya dan tentang
ibadah tentunya. Pernikahan kami bukan semata-semata tentang beranak pinak.
Bagi kami anak adalah rizki. Bukankah kematian, jodoh dan rizki telah
ditentukan oleh-Nya. Itulah hal sederhana yang diajarkan papuk tuan nine-mame
(kakek-nenek) kami. Kisah cinta papuk tuan nine-mame telah mengajarkan kami bahwa
pernikahan bukan semata-mata beranak pinak. Sekali lagi bukan. Kisah keduanya
adalah kisah cinta yang taklekang oleh ruang dan waktu. Semakin mereka renta,
mereka semakin kompak dan saling menyayangi. Padahal pasangan suami-istri
lingsir (tua) ini takmemiliki keturunan, sepotong pun tidak ada. Kisah cinta
keduanya perlu kuceritakan, tapi tidak untuk saat ini bro. Nanti akan
kuceritakan.
Kami benar-benar membuat diri kami enjoy, rileks, penuh
petualangan dan membahagiakan hati. Kutahu istriku kaum santri. Rute
perjalanannya pendek dan terbatas. Bila waktu senggang datang, tugas-tugas
kampus sudah kami hajar semua, kuajak istriku refreshing, berkeliling jauh.
Kuajak ia mengunjungi tempat-tempat asing yang takpernah ia lihat sebelumnya.
Kami kunjungi tempat-tempat indah dan romantis. Kami berselfi-ria di antara
hamparan persawahan dan lautan biru. Kami susuri jalan-jalan menanjak dan
berliku. Kubahagikan istriku. Kubuat hidupnya semakin hidup. Jika aku gajian,
kuajak ia berwisata kuliner. Kuajak istriku makan soto “Bawa’ Teréng” Lemokék,
makan bakso Haji Caé Kediri, Bakso Gajah Mungkur Gomong, menyantap lezatnya
“Sate Hajat” Jerneng, menikmati ikan bakar di pinggir pantai Pidana Menage
Baris, menikmati Bakso Kotak Taman Selong, jagung bakar pedas Giri Menang
Square, menyantap nasi goreng see food CJDW, menikmati nasi goreng Timbul
Rejeki di jalan Air Langga itu, menikmati pedasnya Nasi Balap Puyung, menikmati
tiap potong ayam Rarang, menikmati bongkahan ayam Taliwang plus plecing
kangkungnya, menikmati lalapan Asep Kumis, menikmati pentolan Tuak Barcelona
dan Tuak Basit. Sungguh kami kunjungi kuliner populis, murah meriah, ramah
kantong dan khas Sasak tentunya. Kami kunjungi berkali-kali. Ya, berkali-kali.
Sungguh kami sangat menikmati tiap detik pernikahan kami. Pernikahan kami,
jalan-jalan tanpa henti. Pernikahan kami, wisata kuliner tanpa jeda menanti.
Pernikahan kami, ibadah kepada Rabbul ‘Izzati.
Seluruh mata kuliah sudah kami tempuh. SKS demi SKS telah
kami lalui tanpa jenuh. Aku dan istriku kini duduk bersimpuh. Kami panjatkan
do’a yang kami anggap paling ampuh. Do’a meminta keturunan yang baik, soleh dan
berkepribadian teguh. “Rabbi Habli Min Ladunka Dzurriyatan Thayyibatan. Innaka
Sami’uddu’a” aku panjat do’a ampuh itu sedang istriku mengamini di belakangku.
Kuiringi dengan terjemahannya agar kami benar-benar dapat meresapi do’a yang
kami baca. “Duhai Tuhanku, anugerahkan aku keturunan yang baik dari sisi-Mu.
Sesungguhnya Engkau Maha Mendengarkan do’a”. Kami ulangi do’a ini tiga kali.
Do’a pertama kami niatkan agar keturunan kami menjadi keturunan yang thayyibah
jismuha, yang baik fisiknya. Do’a kedua kami niatkan thayyibah akhlaquha, mantap
akhlaknya. Do’a yang ketiga kami niat thayyibah ‘aqluha, mantap kecerdasannya.
Hampir setiap sholat kami memohon dengan do’a yang kami yakin ampuh ini. Kau
tahu bro kenapa do’a ini kuyakini ampuh? Sungguh do’a ini kuperoleh dari kitab
suci-Nya. Saat itu hatiku galau. Aku galau memikirkan keturunan yang tidak
kunjung datang. Bila dulu aku beralasan sedang studi S2, lalu ketika studi ini
selesai apa yang akan menjadi alasan kami belum memiliki keturunan. Tiba-tiba
dengan hidayah-Nya, ketika kubuka al-Qur’an, mataku langsung menuju ayat yang
mengandung do’a itu. Aku baca dan kuterjemahkan dalam hatiku. Aku makin yakin
inilah do’a yang kami butuhkan. Ia demikian kontekstual dengan keadaan kami.
Sungguh Allah telah menjadikan tiap penggal ayat al-Qur’an sebagai do’a yang
kontekstual, selaras dengan kebutuhan hamba-Nya. Ya Allah, aku yakin
seyakin-yakinnya, dengan kemukjizatan kitab suci-Mu, ucapku dengan rasa syukur
di dada.
Kami menghitung hari, namun tanda kehamilan istriku belum
nampak jua. Kami terus berdo’a. Putus asa bukan pilihan kami. Kami tambah waktu
berdo’a. Kami pilih waktu-waktu yang mustajab untuk berdo’a. Tengah malam,
antara azan dan iqamat, setelah shalat fardhu, antara dua khutbah jum’at dan
saat sujud adalah pilihan kami. Kami terus menerus berdo’a hingga suatu saat
istriku telat datang bulan, kurang lebih telat tiga minggu. Istriku mencoba
mengecek kehamilan dengan test peck, namun hasilnya satu garis merah, negatif.
Bulan berikutnya pun demikian. Ia telat bulan lagi. Ia cek lagi. Juga negatif lagi.
Bulan berikutnya pun demikian hingga istriku takut kecewa jika harus test peck
dan hasilnya negatif. Kami terus berdo’a, berdo’a, berdo’a, dan berikhtiar.
Kami sudah tidak percaya lagi dengan test peck. Titik.
Tesisku sudah siap diujikan. Istriku masih tahap
penulisan tesis. Itu pertanda bahwa kami harus siap-siap membuat alasan logis,
mengapa kami masih belum berketurunan bro. Ah, stress kami dibuatnya. Kami
berusaha takmemikirkannya. Kami berpetualang lagi. Aku ingat saat itu bibi kami
sedang panen semangka. Kuajak istriku ke sawahnya. Sawahnya demikian jauh.
Copot rasanya lutut kami berjalan melalui jalan setapak itu. Kami berselfi-ria
di antara hijaunya tanaman semangka siap panen itu. Kami panen seenak hati
kami. It’s free, kata bibi kami jika diinggriskan. Kami karungkan semangka dan
mentimun segar itu. Kami jejalkan semampu kami. “Mumpung gratis bro” pikirku
santai.
Panen semangka telah usai. Semangka dibagi-bagikan kepada
sanak famili. Kami istirahat sejenak di rumah kerabat kami, sembari menunggu
mentari tak lagi terik. Ba’da ashar kami siap-siap pulang. Kami pulang membawa
semangka bagian kami. Kami ingin habiskan sore ini di jalan lebar dan panjang
itu. Kami ingin menikmati hamparan persawahan itu. Sunggguh pemandangan yang
mengasyikkan. Takmau kukencangkan gas motor bututku. Kujalankan ia pelan. Pelan
sekali. Walaupun pelan, ban motorku pecah juga. Kami pun menikmati musibah
ringan itu. Kami duduk di kursi kayu tukang tambal ban. Kami saling pandang.
Bola mata kami bertemu. Kami tersenyum menikmati indahnya petualangan ini.
Tidak sampai di sini. Kami pulang melewati jalan yang tidak biasa. Kali ini
kuajak istriku melewati jalan terjal. Jalan berdebu dipenuhi batu-batu besar.
Jika musim hujan mungkin akan sangat seru, lantaran debunya yang menjelma
menjadi lumpur. Kami menikmati bebatuan besar dan tajam itu. Bagi kami
petualangan inilah yang paling berkesan. Hingga tujuh turunan pun kami tak akan
lupa. Tak akan.
Kami sampai rumah di rumah ibu, ibu kandunganku, mertua
istriku. Kami bagi semangka hasil panen itu. Sekadar itu kami lanjut perjalan
pulang ke rumah mamaq-mamiq kami, mertuaku. Kuceritakan petualang seru itu.
Kututurkan kepada adik-adik iparku. Aku takpaham mengapa cerita itu mengarah
kepada perdebatan hebat antara mamaq dan mamiq mertuaku. Tiada lain dan tiada
bukan, itu tentang istriku yang belum hamil. Mamiq mertuaku keras menyalahkan
mamaq mertuaku.
“Iye ruem ndek wah suru’ anakm meriksa’ jok dokter”
[itulah akibatnya, kamu tidak pernah menyuruh anakmu periksa ke dokter] tuding
mamiq mertuaku keras.
“Wah bi pade tesuru’ ka tuan, laguk ndekn wah lalo
meriksa kanak sak due ni” [sudah saya suruh, tapi mereka tidak pernah pergi
periksa] jawab mamaq mertuaku dengan leher berotot.
“Sala’m uwah” [salahmu sudah], mamiq mertuaku menegaskan.
“Ka’ tuan ni, marak dengan ndek berilmu doang. Lemak
lamun wah wayen bedoe, pastin betian” [Ka’ Tuan ini, seperti orang tidak
berilmu saja. Besok kalau sudah saatnya hamil, pasti dia hamil], mamaq mertuaku
semakin mengencangkan otot lehernya. Perdebatan itu semakin panas. Aku dan
istri masuk kamar. Kami memilih bungkam. Bagi kami berbicara saat ini sama
artinya menyulut api kemarahan. Kami saling pandang, saling menguatkan. “ya
sudah, besok malam kita periksa geh yaaang... demi sekadar membahagiakan kedua
orang tua kita” kutawarkan istriku untuk periksa ke dokter. Istriku
menggangguk. Ia demikian taat padaku. Makin aku sayang dia.
Malam telah sepi. Lampu ruang keluarga di rumah-rumah
tetangga sudah dipadamkan. Suara bising sepeda motor sudah takterdengar lagi. Suara
riang anak-anak bermain hening. Kami pun tertidur. Kami tertidur membawa
harapan dan do’a. Berharap semuanya baik-baik saja. Berharap do’a akan cepat
terkabul.
Besok malamnya kami pulang ke pondok pesantren. Waktu itu
shalat Maghrib telah kami tunaikan berjama’ah di aula rumah. “Apapun hasilnya,
kita langsung saja pulang ke pondok” kami buat kesepakan di kamar, sebelum kami
berangkat. Kami keluar kamar. Kami meminta ijin kepada mamak-mamiq. Kami cium
telapak dan punggung tangan mereka berdua. Kami kecup pipi kanan-kiri dan
kening kedua. Kami ingin membahagiakan mereka. Lebi-lebih mamiq, memiliki cucu
adalah kebanggaan di usia senjanya. Kebanggaan tentang keturunannya yang akan
melanjutkan dakwahnya. Kebanggaan tentang keturunannya yang akan mewarisi kitab-kitab
kuningnya. Kebanggaan tentang keturunannya yang akan memelihara tradisi
keluarga. Kami paham. Kami ingin membahagiakan mereka. Kami ingin mereka
bangga. Kami ingin usia senjanya penuh dengan tawa bahagia. Ya, hanya itu
harapan kami saat itu.
Perdebatan mamak-mamiqlah (Ibu dan Bapak) yang membuat
kami duduk dan menunggu di ruangan itu. Ruang tunggu dokter kandungan itu
dilengkapi satu tv. Di depan tv berderet kursi besi bercat hitam. Di sebelahnya
berjajar kursi-kursi berwarna biru. Di bagian pojok barat terpajang sofa merah.
Ruangan itu sederhana namun bersih dan rapi. Di atasnya duduk ibu-ibu. Tidak
hanya ibu-ibu hamil muda dan hamil tua, ada pula di antara mereka yang
semata-mata memeriksa kesehatan rahimnya. Tidak hanya itu, ada pula yang datang
hanya sekadar untuk curhat kepada sang dokter kandungan, contohnya kami ini.
Kami datang bukan untuk memeriksa kehamilan. Bahkan kami datang dalam keadaan
bingung.
“Mbak mau periksa kehamilan. Udah berapa bulan? Tanya
resepsionis cantik itu.
“eeeee... (kami bingung). Kami ingin curhat-curhat aja
sama dokter” jawab kami spontan, tanpa pikir.
“ooooo...ya dah, nanti mbak program hamil ya kalau dah
periksa” resepsionis itu memberikan kami saran
“geh... in sya Allah mbak” kami anggukkan saran
resepsionis itu. Kami kembali duduk. Kami menunggu lagi. Perasaan kami harap
cemas. Dag-dig-dug, dada kami berdegup kencang. Kami masih sabar menunggu.
Menunggu dokter cantik itu. Kutahu dokter itu cantik dari namanya. Ya, dari
namanya.
Kulihat jam di dinding. Sudah pukul 21.00, nama istriku
belum juga dipanggil-panggil. Kami tambah nervous. Kami kikuk atas tindakan
kami ini. Lalu sekali ini kami berkunjung ke dokter untuk berkonsultasi. Kami
hilangkan kejenuhan dengan menonton tv dan bermain game di hp. Tiba-tiba nama
istriku dipanggil. Kami masuk ke ruang paraktik. Benar kataku dokternya cantik.
Tidak hanya cantik, ia juga ramah, komunikatif, humoris dan tidak kaku layaknya
dokter yang kutahu.
“Gimana bu...” Dokter itu mengawali pembicaraan.
“Iyya dokter, kami mau curhat-curhat” kami berusaha
berbicara santai.
“Udah pernah hamil bu...?” tanya dokter kembali.
“Udah, tapi keguguran” jawab istriku singkat.
“Gimana bisa keguguran?” dokter terus menulusuri riwayat
kehamilan istriku.
“Katanya, saya kecapean. Kami kan lagi S2 bu. Tapi
sekarang kami sudah di semster akhir. Saya sedang nulis tesis. Suami sudah
daftar ujian tesis” istriku berusaha menjelaskan keadaan kami.
“Trus, belum pernah isi lagi?” tanya dokter sambil
menunjukkan empatinya.
“Belum” jawaban istriku lebih singkat lagi.
“Haidnya gimana bu..?.” tanya dokter
“Kadang-kadang lama telatnya. Kadang telatnya 3 minggu,
kadang-kadang sebulan bahkan sampai dua bulan. Pas test peck, hasilnya negatif.
Selalu negatif” istriku menjawab dengan nada kecewa.
“Ibu pake KB” tanya dokter.
“nggak bu...” jawab istriku.
“Waaaah bingung aku, ya udah kita USG aja ya...” dokter
murah senyum itu mempersilahkan istriku ke tempat pembaringan pasien.
Istriku tidur di atas pembaringan. Wajahnya belum
terlihat ceria. Ia masih terlihat cemas. Aku duduk di sofa ruang praktik itu.
Aku pun cemas. Aku berdo’a sejenak. Bu dokter memulai proses USG. Bu dokter
demikian teliti. Ia terus memeriksa kandungan istriku. Ia dibantu oleh asisten
perempuannya. Mereka terlihat serius. Serius sekali. Tiga menit kemudian,
“Yach, ini kan udah isi bu, pak. Udah dua bulan” kata dokter ramah itu. “masa’
bu. Beneran. Istri saya nggak mual-mual. Nggak ada ngidam-ngidamnya” jawabku
terheran-heran. Masih dengan muka takpercaya, kutanya dokter itu lagi dan lagi,
hingga kuyakin. “Ini dia pak bayinya” kata dokter sambil menunjuk ke arah
monitor USG. Al-Hamdulillah, ucapku. “Selamat ya pak, bu...” dokter mengucapkan
selamat pada kami. “Terima kasih dokter” kami ucapkan terima kasih.
Bahagia dan haru menyelimuti hati kami. Kupeluk istriku.
Kutegaskan padanya bahwa mulai saat ini akulah yang akan mencuci baju dan
menjemurnya setiap hari, membersihkan kolom di bawah dipan, menguras bak mandi,
menyikat kloset WC biru itu. Semuanya serba aku demi dia, istriku. Tepat di
usia kehamilannya yang ketiga, aku diwisuda dengan nilai cumlaude. Kuajak
istriku dan calon bayi kami di acara wisuda. Bahagia benar aku dibuat. Tinggal
istriku, ia harus berjuang di sela-sela letihnya untuk mengerjakan tesisnya.
Berat memang, tapi persoalan akademik haruslah diselesaikan secara akademik.
Aku tak mau membantunya walaupun mengetik, apalagi menganalisis. Kuyakin ia
kuat. Kuyakin ia cerdas. Benar keyakinanku. Tepat usia kandungannya memasuki
sembilan bulan, ia sukses mempertahankan tesisnya di hadapan penguji. Lega
kulihat istriku. Senyum sumringahnya menegaskan bahwa ia mampu menyelesaikan
studinya, meski dalam keadaan bunting. Ya, dalam keadaan bunting,
sebunting-buntingnya.
Jum’at, tanggal 20 Maret 2015, dua minggu setelah ujian
itu, anak kami lahir dengan selamat. Kuazan di telinga kanannya. Kuiqamatkan di
telinga kirinya. Langsung kuberi nama Ahmad. Nama yang kami rencanakan jauh
sebelum anak kami lahir. Nama yang kami ambil dari seorang pemimpin semua
makhluk, Rasulullah. Kami sempurnakan nama putraku manakala usianya tujuh hari
menjadi Ahmad Rofiqi al-Hadi. Kami berharap dalam do’a, semoga putra kami
menjadi seorang pemimpin yang terpuji body, budi dan akalnya. Kami beri nama
putra kami Rofiqi, yang terambil dari nama ibunya Baiq Rofiqoh Amalia, dengan
harapan semoga menjadi teman yang baik. Kami sematkan nama al-Hady tepat di
belakang, yang terambil dari namaku Prosmala Hadisaputra, dengan harapan semoga
putra kami menjadi penunjuk kepada jalan kebajikan. Kini putra kami, Ahmad
Rofiqi Al-Hadi telah memasuki usia enam bulan. Ia mulai belajar tengkurep.
Tingkahnya makin menggemaskan. Membuat kami sekeluarga semakin sempurna. O ya
aku lupa, istriku pun sudah wisuda, tepat di saat usia Ahmad beranjak tiga
bulan. Alhamdulillah, ternyata Rencana Tuhan Lebih Indah. Lebih hebat dari yang
kami bayangkan. Maka nikmat mana yang kamu dustakan? Firman Allah.[] Prosmala
Hadisaputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar