Rabu, 22 November 2017

GADIS MUNGIL BERJILBAB UNGU

Hari ini adalah hari pahlawan. Aku dan warga pesantrenku baru selesai mengibarkan bendera pelambang keberanian dan kesucian itu. Aku bergegas menyalakan motor bututku, motor perjuanganku selama ini. Kucium Ahmad, putra semata wayangku. Ia sunggingkan senyum lucunya. Terlihat rahangnya takbergigi. Lucu dan menggemaskan sekali. Ingin kucubit pipi putih nan lembut kepunyaannya. Kusalami bidadari cantikku, istriku. Dia do’akan aku, suaminya. Kukelik helemku. Aku siap berangkat. Do’a istri dan anakku mengiri langkah pagiku. Aku merasa sangat diberkati. Namun ada sesuatu yang berbeda hari ini. Ya, aku merasa berbeda. Hari ini aku terlambat ke kampus. 
Matahari sudah terlihat tinggi. Waktu dhuha kian mengembang. Mentari hari ini redup tertutup awan. Kutancap motor tua yang hendak memburam warna merah tuanya. Sedikit demi sedikit warna merahnya berubah menjadi agak kuning. Kutancap pelan, pelan saja. Kutinggalkan gerbang bercat hijau muda itu. Kumulai menyusuri jalan berasapal panjang. Kulewati jembatan Teratai, yang sungainya kini mengering. Airnya diseruput kemarau panjang. Kulihat sampah membusuk disekitarnya. Walau warning keras tertulis “We monyet, jangan buang sampah di sini”, tetap saja sampah menumpuk dan berbau. Aku terus menggeber pelan motor matic bututku. Kulihat warung kopi “Ngompreng” masih tutup.
Aku tiba di perempatan Kediri. Aku mengarahkan setir motorku ke arah barat. Kini aku dihadang kemacetan. Tepatnya di depan pasar Kediri. Pasar tua menyisakan tanya tentang sejarah antiknya. Saking antiknya, sejarah kunonya tercatat di salah satu musium di Belanda. Di depan pasar inilah, mobil dan motor berplat hitam, kuning dan merah serta cidomo berjalan merangkak. Suasana pagi yang sesak. Aku diserbu kepulan asap kendaraan. Sesekali aku menutup hidung dan mulut, agar aku takterbatuk-batuk.
Di antara sesaknya kendaraan umat manusia itu, ada pemandangan yang tidak lazim. Pandanganku tertuju tajam pada sebuah mobil dengan bak terbuka. Mobil open cup maksudku. Kucoba mengintip melalui kaca sepion mobil dongol itu. Siapa sopir mobil tua? Siapa orang yang ada di dalam, sebelah kirinya? Kucoba memajukan motorku. Kubuka lebar mata kecilku. Kulihat sopirnya pria berkaos putih. Umurnya sekitar 35 tahunan. Di sampingnya seorang perempuan berjilbab coklat. Hanya mereka berdua di dalam mobil open cup itu. Takada yang lain selain mereka berdua. Dua-duanya takkukenal. Aku pun tak begitu kebelet berkenalan dengan keduanya. Aku hanya ingin tahu siapa gadis mungil tepat di belakang mereka. Gadis mungil berjilbab ungu itu. Ia baru berumur sekitar lima tahun. Pada lengan tangannya terlilit jam tangan mungil berwarna merah. Gadis mungil itu duduk bersandar seorang diri. Ia ditemani sebotol air disebelah kanannya. Di depannya, tepat dikakinya ada bola volly berwarna hijau muda, persis warna gerbang pondokku. Kisah ini bukan tentang hari pahlawan, bukan tentang jilbab ungu, bukan tentang jam tangan merah mungil, bukan juga tentang bola volly berwarna hijau itu.
********
Kisah ini tentang gadis mungil pecinta al-Qur’an. Dalam bak terbuka itu, ia membuka mushaf kecilnya. Mushaf kecil itu berwarna biru dongker. Dapat kuterka bahwa mushaf itu adalah mushaf cetakan Madinah, mirip kepunyaan santriku di pesantren. Dari pasar Kediri aku terus membuntutinya dari belakang. Ia belum sadar jika aku memperhatikannya. Mata-kepalanya berjalan dari kanan ke kiri dan kembali ke kanan lagi dan lagi kekiri. Ia membaca dengan khusyuk dan sedikit mengeja. Itu kutahu dari komat-kamit mulut indahnya. Mobil gadis itu terhenti di perempatan Bengkel. Ia menatapku, tapi aku membuang muka. Aku tak ingin ia kikuk. Aku tak ingin ia berhenti membaca, karena pandangan usilku.
Mobilnya kembali melaju kencang ke arah barat. Terus ke barat menuju Dasan Cermen. Melewati hamparan lahan produktif berkelas satu, yang kini disulap menjadi bangunan-bangunan industri. Aku terus mengejarnya. Aku layaknya detektif. Mengintai segala tingkah lakunya. Aku tak mau kehilangan jejak perempuan kecil itu. Aku memperhatikan gadis mungil itu. Ia masih tetap menunduk dan membaca al-Qur’an mulia itu. Ia takmemperdulikan bising sekelilingnya. Benar-benar takpeduli. Tak peduli.

Perjalanan ini memberiku sentuhan spiritual. Hatiku terhentak dalam haru dan bangga takterperi. Kedua rasa itu manyatu dalam bilik sukmaku. Air mataku hendak menetes, tapi kuberusaha menahannya. Ia seorang yang mungil, yang masih senang bermain justru asik membaca Qur’an di tempat yang tidak biasa, di bak mobil terbuka. Aku membuka ruang skeptisku. “Aaah, mungkin gadis mungil itu hanya over acting alias kajuman”, hati skeptisku berbisik. Aku terus membutuntutinya di belakang. Aku masih penasaran dengan gadis manis itu. Ia masih terlihat asik dengan mushaf mungilnya. Gaya membacanya layaknya anak-anak kebanyakan. Ia lebarkan mulutnya dan sesekali ia manyunkan mulutnya. Aaah... gadis ini sungguh polos dan lucu. Ia membuatku bercita-cita agar kelak aku pun mendapatkan keturunan putri semisal dia. Tapi nanti, setelah Ahamad sudah besar. He...[]

Mobilnya melaju pelan saat tiba di perempatan Dasan Cermen. Lampu trafick light tak berfungsi. Listrik sedang padam. Aku pun ikut memperlambat laju si Jago Merah, motorku. Kutatap gadis itu. Ia pun masih konsentasi membaca Qur’annya. Mobilnya melesat kencang lagi. Aku berusaha mengejar di belakang. Aku terus menatap gadis polos salehah itu. Takbosan-bosan aku memandangnya. Ini adalah pemandangan langka. Mungkin pemandangan berkah ini takmuncul dua kali. Oleh karena kunikmati saja.

Mukaku mulai terdeteksi spion mobil itu. Aku berusaha cuek. Kubuang mukaku. Si sopir mulai curiga. Ia berusaha menagkap jelas mukaku. Aku kembali membuang muka. Gadis mungil itu masih tetap fokus membaca mushafnya. Subhanallahu...! Aku yakin ini bukan acting. Inilah adalah kebiasaan mendarah mendaging. Kebiasaan ini hanya berlaku bagi mereka yang diberkati-Nya. Jika di atas mobil bak terbuka si gadis mungil asik membaca al-Qur’an, lalu bagaimana ketika ia sedang di rumah. Takdapat kubayangkan kebahagiaan kedua orangtuanya. Siapakah orangtua beruntung itu. Bagaimana kedua orangtuanya mendarah-dagingkan kebiasaan itu.

Aku semakin diperhatikan melalui kaca spion. Si sopir makin membesarkan matanya. Aku mulai panik dianggap penculik. Air kencingku sudah ingin keluar. Aku dag dig dug. Kusalib saja mobilnya. Aku tak ingin ambil risiko. Jika aku diteriaki penculik, aku pasti ji’un diamuk massa. Mobil gadis itu pun kutinggal jauh di belakangku, tak terlihat lagi. Sepertinya, si sopir sengaja takmenggeber kencang mobilnya. Atau spertinya aku yang terlalu kencang karena takut teriaki penculik anak. Entahlah. Yang jela, gadis lagi salehah itu telah berlalu dari pandanganku. Ia meninggalkan hikmah dan inspirasi berkah buatku dan segenap orang tua. Terima kasih gadis berjilbab ungu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar