Rabu, 22 November 2017

ABAH & KALIGRAFI (PART 1)

Mentari tampak gagah hari itu. Sinarnya menghangatkan dingin pagi. Embun semalam perlahan mengering. Jajaran pohon kelapa di depan kelas terlihat tenang. Satu persatu santri mulai berdatangan. Farhan dan Fadli sosok tengil tapi cerdas di kelasku, Fahmi yang super aktif, yang tangannya terbiasa menggendang meja,Ruslan si pendiam, Sa'ad Riadi yang lucu karena 'tembem' pipinya, Marzuki yang selalu datang dengan melipat peci, dan sisiran terbelah, mereka semua sudah datang.
Kami berbondong-bondong masuk kelas. Tampak dari jauh seorang guru memarkir sepedanya, menyandarkannya dibawah pepohonan. Langkahnya tegap menuju kelas kami. "Pak guru datang, Pak guru datang" suara riuh santri saling menakut-nakuti. Semuanya mengatur peci masing-masing. Meletakkan kedua tangan di atas meja. Pandangan lurus tertuju ke depan. Sangat kaku.
'Ihtiraaaaam.... hayyuu', suara lantang Farhan, ketua kelas kami. Para santri berdiri menyambut kedatangan guru itu, Assalamu'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh. Satu salam pembuka, untuk mencairkan suasana kaku. Alhamdulillah.
Kebiasaan siswa, termasuk aku, memnadangi guru dari ujung kepala hingga kaki. "Peci hitamnya ok. Bajunya lumayan bersih, rapi dimasukkan. Soal celana okelah walau kelihatan warnanya agak tua macam guru tahuan 70-an, sepatu hitamnya siiiip walau tak begitu mengkilap" akau menggumam panjang dalam hati. Kuyakin kawan-kawanku sedang menceklis dari sepatu hingga peci. Kami saling pandang, saling bertukar senyum. Ha... Ha... Itulah awal kami berkenalan dengan Abah. Pelajaran moral pertama, guru tidak pernah lepas dari intaian muridnya.
**************************
Imla' Khat adalah ilmu dasar seni kaligrafi. Abah adalah satu-satunya guru khat. Hanya Abah yang dipercaya, dan percaya diri mengajar pelajaran ini. Dari kelas 1 hingga kelas 3, dari tingkat Tsanawiyah hingga Aliyah, Abah adalah pengajar tunggalnya. Ya, hanya dia.
Materi Imla' Khat dimulai dengan quote super dari Abah, 'Perbaiki Tulisanmu, Rizki menghampirimu'. Begitulah ia selalu memotivasi kami. selanjutnya Abah menturuh kami membuat barisan huruf Alif satu hingga dua halaman. Demikian pula dengan huruf Ba', Ta', Tsa' dan seterusnya, berulang kali, berbaris-baris, macam pagar anyaman bambu di sawah.
Di lain waktu, Abah akan menyuruh kami menulis mahfuzhat, pepatah Arab berpuluh-puluh kali. Ada dua mahfuzhat yang tidak bisa kami lupakan. Pertama, "Laa Tahtaqir man duunaka falikulli syahkshin maziyyah-jangan kau merendahkan orang yang memiliki kekurangan, karena setiap orang memiliki keistimewaan", kedua, "saafir tajid 'iwadhan 'amman tufariquhu-berkelanalah niscaya kamu akan dapat pengganti orang-orang yang kamu tinggalkan". Bagiku kedua mahfuzhat ini seperti darah dalam tubuh, seperti jantung dalam dada. Menambah energi, memompa percaya diri dan sikap berani. Aku telah membuktikannya. Alhamdulillah.
Entah berapa buku 'stirimin', buku bergaris, yang telah habis kami gunakan. Jika dikandangkan, entah berapa kandang yang tercipta dari hurup-hurup itu. Ada sekian ayat, shalawat, dan mahfuzhat yang ditulis berulang kali. Tujuannya hanya satu, agar tulisan menjadi lebih baik, dapat dibaca oleh diri sendiri, dan orang lain.
Perlahan namun pasti. Di antara kami sudah mulai terseleksi alami. Fahmi, Fadli, dan Farhan nilainya 80-90, Marzuki, Sa'at Riadi, dan Ruslan berkisar 60. Aku, lebih sering memperoleh nilai 70-80, standar. In sya Allah dapat dibaca oleh diri sendiri dan orang lain.
***************************
Abah dan Kaligrafi bukanlah sekadar pertautan emosional, tapi kaligrafi adalah salah satu jalan merangkai hidup. Gaji Abah dan guru-guruku yang lain tidak sesejahtera guru sekarang. Abah pun merangkai hidup dari jasa menjual kaligrafi nama di gambar pemandangan. Ia dibantu temanku, John, kakak kelasku, untuk menawarkan kaligrafi dari rumah ke rumah. Bila ada pameran atau semacam pasar malam, Abah pun mengambil stand penawaran.
Bila ada waktu luang, semisal hari libur, aku biasanya tidak pulang kampung. Abah mengajarkan kami membuat hurup-hurup dari kertas yang ditempel dikain spanduk. Lagi-lagi aku tak berbakat. Hanya Aziz, anak Montong Sapah itu yang berbakat.
Kini Abah tak segiat dulu membuat kaligrafi. Namun aura tulisannya masih terpancar indah dalam coret-coretannya di papan tulis, saat ia mengajar atau dalam coret-coretan iseng-nya di kala luang. Gaya tulisannya menjadi kiblatku, sekalipun kualitasnya tidak pernah sama. Tulisan Abah indah, seindah cara ia mendidik kami.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
30 Agustus 2017
University Malaya, Kuala Lumpur
Masih Libur Makanya masih bisa cerita-cerita

1 komentar: