Stang sepeda butut itu memanjang lurus. Di kiri kanannya terdapat rem. Namun, tak jarang pemiliknya mengerem dengan kaki. Remnya blong, sehingga kadang-kadang melempar pemiliknya ke jalanan. Sepeda itu tak berlonceng dan tak berlampu. Hanya orang nekat yang berani menerobos gelap dengan sepeda itu. Busa joknya hampir sama rasanya bila duduki dengan "sentauk" dapur. Empuknya takterasa, sedikitpun. Rantainya pun berkarat. Bila tak lagi bersahabat, rantainya terlepas bahkan putus, macam orang merajuk merajuk, sebagai isyarat ingin diganti dengan yang baru.
Jika Andrea Hirata bercerita tentang blender atau penggiling kopinya, yang ia anggap sebagai kekasih, lalu diberi nama "Yamuna" maka Abah menganggap sepeda buntut ini sebagai "separuh nafas"-nya. Jika sepeda buntut ini sakit, nafas menjadi sesak, sebab jarak menjadi semakin jauh.
Jangan kau bayangkan sepeda Abah seperti sepeda Bapak Umar Bakri dalam lagu Iwan Fals. Pernah kau dengar sepeda Umar Bakri diserempet, atau ditabrak dari belakang, atau bahkan 'adu jangkrik' di jalan. Tidak pernah terdengar kisahnya, sedikit pun. Tapi sepeda Abah sudah pernah ditabrak. Kau tahu siapa yang menabrak itu? Muridnya, ya, muridnya. Kau tahu apa yang terjadi setelah ditabrak? Si murid "nyengir kuda", Abah tersenyum simpul. Alhamdulillah sepeda hanya sedikit pusing. Abah mengayuh lagi.
Kini, sepeda itu telah tiada. Terakhir aku lihat, 10 tahun yang lalu, ia lumpuh total. Ban dalamnya terburai keluar. Barisan besi luji veleng-nya telah berkarat dan rontok. Sebagiannya lagi sudah dipotong menjadi paku "gansing". Busa sadelnya, mungkin sudah jadi spon mencuci. Fisiknya boleh lepas, tapi kesannya tetap "separuh nafas", dan selalu menggoda untuk diingat.
================================================
Tulisan ini ditulis, agar kenangan indah dapat terdokumentasi. Saya takut lupa.
================================================
29 Agustus 2017
Ditulis di Halte Bus Rapid,
Kuala Lumpur Malaysia.
Ditulis di Halte Bus Rapid,
Kuala Lumpur Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar