Rabu, 29 November 2017

MENGOLAH SAMPAH JADI BERKAH

Sampah kian hari menjadi permasalahan yang makin rumit dan kompleks, tidak hanya merambah kawasan perkotaan namun juga pedesaan. Sungai-sungai telah tersumbat dengan genangan sampah bervolume dahsyat. Jalan-jalan pun demikian penuh dengan tumpukan limbah pasar, sekolah dan rumah. Keindahan desa dan tata ruang kota pun menjadi semerawut, kumuh dan menebarkan bau tak sedap. Di samping itu, gorong-gorong, got dan parit kecil di pemukiman penduduk menjadi sarang sampah, yang dapat menjadi sumber penyakit. Kondisi semacam ini sebenarnya tidak boleh atau bahkan tidak harus terjadi, jika saja masyarakat memiliki komitmen yang kuat,  untuk selalu melestarikan budaya hidup bersih tanpa sampah dan budaya kreatif dalam memanfaatkan atau mendaur ulang sampah.
Perilaku budaya bersih tanpa sampah, dapat ditunjukkan dengan banyak hal dalam perilaku sehari-hari, seperti membuang sampah pada tempat yang telah disediakan, memisahkan antara sampah organik dan non organik, dan lain sebagainya. Sedangkan budaya kreatif dalam memanfaatkan sampah, dapat ditunjukkan dengan berbagai aktifitas yang dapat mengubah sampah yang tidak bernilai, menjadi sesuatu yang mendatangkan nilai dan berkah. Baik berkah yang bersifat material finansial, ataupun yang bersifat immaterial berupa pahala dan surga. 
Anjuran mendaur ulang sampah memang tidak tersurat nyata dalam al-Qur’an dan hadits. Namun sesungguhnya Allah telah menjelaskan secara global dalam QS Ali ‘Imran ayat 190 – 191, bahwa Dia tidak akan menciptakan sesuatu dengan maksud sia-sia tanpa hikmah di balik penciptaan dan keberadaan suatu benda, termasuk sampah yang ada disekitar kita ini. Demikian juga dalam hadits banyak ditemukan materi-materi yang mengarahkan kepada kebersihan dan keindahan. Juga ada satu hadits yang menurut Penulis sangat mengarah kepada aktifitas daur ulang dan pengolahan sampah, menjadi sesuatu yang bermanfaat. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad, dari Jabir bin Abdillah, di mana Rasulullah SAW bersabda, “Jika makanan salah satu kalian jatuh maka hendaklah diambil dan disingkirkan kotoran yang melekat padanya, kemudian hendaknya dimakan dan jangan dibiarkan untuk setan”
Jika hadits tersebut dikaji lebih dalam dan menukik, kemudian disesuaikan dalam kondisi lingkungan kita saat sekarang ini, yang mana di penuhi sampah, bisa jadi hadits tersebut menjadi sebuah motivasi untuk bersikap kreatif terhadap tumpukan sampah, yang mungkin menurut kita tidak memiliki harga sama sekali. Hadits tersebut secara tekstual merekomendasikan bahwa makanan kotor dengan sebab jatuh, tidak boleh disia-siakan, akan tetapi dicuci kembali lalu dimakan. Sedangkan secara redaksional dan kontekstual, makanan yang kotor dalam hadits tersebut dapat diibaratkan seperti sampah, yang tidak memiliki nilai guna, lalu Rasulullah memerintahkan kita untuk mendaur ulang sampah tersebut dengan sabdanya “…hendaklah ambil dan singkirkan kotorannya…”, sehingga menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Lalu bagaimana cara mendaur ulang sampah?. Untuk mendaur ulang sampah menjadi barang yang berguna, sengguh telah banyak inspirasi-inspirasi menarik yang dapat kita saksikan di media tv, kita baca di majalah maupun koran bagaimana sampah-sampah non organik semisal plastik disulap menjadi berbagai bentuk aksesoris seperti tas, sabuk, mainan dan lain sebagainya. Demikian pula dengan sampah organik seperti sampah dedaunan dapat dijadikan pupuk kompos, juga kotoran ternak semisal sapi, kuda dan kerbau yang dapat diproduksi menjadi  pupuk dan biogas.
Memang di NTB khususnya di beberapa desa, ada warga yang telah mulai memanfaatkan limbah sampah menjadi barang yang bernilai jual seperti warga Dasan Agung-Mataram, yang telah mengolah sampah plastik menjadi tas, sabuk, pernak-pernik bunga dan lain-lain, sebagaimana yang pernah diwartakan koran Lombok Post beberapa waktu lalu. Ada juga warga desa yang sudah memulai untuk mengolah limbah ternaknya menjadi biogas, sebagai bahan bakar ketika memasak, seperti yang dilakukan oleh warga di sebuah desa di Kabupaten Lombok Utara, sebagaiman yang diwartakan juga oleh koran ini beberapa waktu lalu. Walau ada warga yang sudah memulai usaha ini, namun demikian jumlahnya masih sangat minim.
Lalu jika kita bertanya, apakah usaha daur ulang butuh modal?, jawabannya tentu “ya”. Maka di sinilah peran instansi-instansi pemerintah terkait seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Pertanian dan Peternakan, untuk memfasilitasi warga yang memiliki komitmen tinggi untuk usaha ini, di mana instansi-instansi tersebut dapat memfasilitasi dan mensupport mereka, berupa modal usaha, pelatihan dan kursus keterampilan dalam mengolah sampah. Tidak hanya itu, instansi terkait juga harus berupaya memasarkan dan mendistribusikan hasil usaha tersebut, sehingga membawa hasil yang lebih maksimal.

Usaha pengolahan sampah menjadi barang berguna tidak hanya menguntungkan individu semata, tetapi juga dapat membuka peluang kerja bagi warga masyarakat lainnya. Dan yang lebih utama adalah dapat mengurangi volume sampah, sehingga lingkungan menjadi lebih bersih, asri dan indah. Rasulullah pernah bersabda; “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencitai keindahan”. Dengan demikian, mengolah sampah sesungguhnya usaha untuk mengolah sampah menjadi sesuatu yang menarik dan indah, sehingga mendatangkan berkah, beruapa nilai jual yang tinggi. Wallahu a’lam bisshawab.

Selasa, 28 November 2017

GIZI DALAM AL-QUR’AN




Gizi dalam bahasa Arab disebut al-ghidzaa’. Jika ditelusuri, maka kata ini tidak akan ditemukan dalam ayat al-Qur’an, akan tetapi banyak ayat yang  menjelaskan hal-hal yang erat kaitannya dengan gizi, seperti proses asupan gizi yaitu proses makan dan minum, juga sumber gizi serta kreteria makanan dan minuman yang dianggap layak untuk dikonsumsi.
Berbicara tentang asupan gizi, sesungguhnya ia diperoleh dari dua aktifitas utama manusia yaitu makan dan minum. Dalam al-Qur’an kata makan dibahasakan dengan kata dasar akala dengan segala bentuk perubahannya, demikian pula dengan minum yang dibahasakan dengan kata dasar “syariba”. Namun yang lebih mengarah kepada konteks gizi adalah kata “makan” dan “minum” dalam bentuk kata kerja perintah yaitu “kuluu” yang berarti “makanlah” dan “isyrabuu” yang berarti minumlah (kalian). Dan ungkapan-ungkapan paling berkesan adalah banyak ungkapan kata kuluu diiringi dengan dua kata yang sangat familier di kalangan masyarakat yaitu halaalan thayyiban, yang berarti “yang halal lagi baik”. Dan kata “kuluu” dan “isyrabuu” banyak diiringi dengan kata “hani’an” yang berarti “yang lezat”.
Penyebutan kata “kuluu” yang diiringi dengan kata halalan thayyiban dapat dijumpai dalam QS. al-Baqarah ayat 168 yang artinya sebagai “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi…”. Redaksi serupa juga disebutkan dalam QS. al-Maidah ayat 88, al-Anfal ayat 69 dan al-Nahl ayat 114. Sedangkan kata “kuluu” dan“isyrabuu” yang diiringi kata “hani’an” dapat dijumpai dalam QS. at-Thur ayat 19 yang artinya “Makan dan minumlah dengan lezat…..", juga disebutkan dalam QS. al-Haqqah ayat 24 dan QS. al-Mursalat ayat 43.
Melihat redaksi ayat-ayat di atas, jelas sudah bahwa al-Qur’an merekomendasikan tiga kreteria  makanan dan minuman yaitu halal, baik dan lezat. Halal dalam artian makanan dan minum tersebut bukanlah yang diharamkan karena zatnya dan atau cara memperoleh serta mengolahnya. Adapun kata “thayyiban” dalam konteks kekinian dapat ditafsirkan dengan kata al-ghizda’ yaitu makanan dan minuman yang kaya gizi dan nutrisi. Dapat juga dimaknai sebagai makanan yang tidak kadaluarsa dan tidak terkontaminasi oleh zat-zat yang membahayakan fisik dan akal, seperti boraks, formalin dan narkoba. Sedangkan kata hani’an yang berarti lezat ditafsirkan sebagai makanan yang lezat dan enak berdasarkan fitrah manusia pada umumnya.
al-Qur’an juga tidak luput membahas tentang sumber gizi yang meliputi makanan berkarbohidrat seperti beras, gandum dan umbi-umbian, makanan berprotein seperti daging dan ikan, berprotein nabati seperti sayur mayur, makanan bervitamin seperti buah-buahan dan terakhir sebagai pelengkapnya adalah susu.
Beras atau gandum sebagai sumber gizi memang tidak secara jelas disebut dalam al-Qur’an namun dalam setiap kata yang ditafsirkan gandum selalu menggunakan istilah “sunbulah” bentuk singularnya dan “sanaabil dan sunbulaat” bentuk pluralnya yang berarti tangkai. Dan tangkai yang dimaksud dalam banyak kitab tafsir adalah tangkai gandum. Kata tersebut dapat ditelusuri dalam QS. al-Baqarah ayat 261, dan QS. Yusuf ayat 47, 43 dan 46. Selain beras dan gandum, termasuk juga jenis umbi-umbian semisal ubi, talas, singkong dan kentang.
Sumber gizi selanjutnya adalah daging dan ikan. Daging dibahasakan dengan kata lahm dalam al-Qur’an. Kata ini dapat dijumpai pada QS. al-Waqi’ah ayat 21 yang artinya: “Dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Ayat tersebut senada dengan QS. al-Thur ayat 22. Sedangkan ikan diistilahkan dalam al-Qur’an dengan “lahman thariyyan” . Kata tersebut terdapat dalam QS. al-Nahl ayat 14 yang artinya: “Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya.  Juga disebutkan dalam QS. Fathir ayat 12 dengan redaksi yang sama pula.
Berikutnya adalah sayur mayur. Di dalam al-Qur’an disebutkan beberapa jenis sayur mayur dan rempah-rempah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber gizi penunjang seperti kol, mentimun, bawang putih, bawang merah dan kacang. Redaksi ini dapat ditemukan dalam QS. al-Baqarah ayat 61, yang artinya; “… sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adas, dan bawang merahnya....”
Selanjutnya adalah buah-buahan. Buah-buahan dalam al-Qur’an diterjemahkan dalam dua kata yaitu “faakihah” sebagai bentuk tunggalnya disebut sebanyak 11 kali dalam redaksi yang berbeda dan fawakih bentuk pluralnya disebut sebanyak 3 kali, seperti dalam QS. al-Mukminun ayat 19 yang artinya: “….. di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebahagian dari buah-buahan itu kamu makan….”
Yang terakhir sebagai pelengkap gizi adalah susu. Susu dalam al-Qur’an dibahasakan dengan kata “laban”. Kata ini dapat dijumpai dalam dua ayat al-Qur’an yaitu QS. al-Nahl ayat 66 yang artinya: “….. kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih …” Juga dalam QS. Muhammad ayat 15 dengan redaksi yang berbeda namun dengan arti yang sama.
Pada zaman yang serba modern ini, susu telah diolah menjadi aneka minuman, makanan dan pemanis alami pada makanan-minuman seperti margarin, yogurt dan es krim. Bahkan ada yang mengolahnya menjadi campuran dalam sabun, shampo dan bahan kosmetik lainnya.
Dari data Qur’anik di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam sangat mengakomodir makanan dan minuman yang memiliki nilai gizi dan membawa manfaat bagi kesehatan manusia, dan melarang berbagai bentuk makanan dan minuman, yang membawa dampak berbahaya bagi kesehatan manusia. Dalam sebuah hadits, Rasulullah pernah mengigatkan umatnya bagaimana Islam sangat mencintai hambanya yang kuat, sehat, segar dan bugar dan membenci mereka yang lemah. Rasulullah bersabda: Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah……" (HR. Muslim) Wallahu a’lam bisshawab.

 Prosmala Hadisaputra

Pengajar di Pondok Pesantren Selaparang
Kediri Lombok Barat

Ph.D. Student in Islamic Studies
University of Malaya
Kuala Lumpur-Malaysia

Senin, 27 November 2017

BEASISWA SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI MIZAN



Mizan kembali meluncurkan program Beasiswa Mizan. Seperti sejarah Mizan yang dilatarbelakangi oleh semangat berpikir dan berkarya di kalangan mahasiswa, Mizan telah menaruh perhatian besar untuk mendorong gairah menghasilkan karya tulis berkualitas di kalangan kampus, salah satu caranya adalah dengan memberikan beasiswa.

Mizan percaya perogram beasiswa ini bisa menjadi pemantik munculnya karya-karya genuine dikalangan mahasiswa.
TEMA PENELITIAN:
Penelitian karya akhir yang harus bertemakan studi keislaman ditinjau dari pelbagai aspeknya (ajaran filsafat, sosial, politik, ekonomi, budaya, sejarah, teknologi, sains dan lain-lain).
Persyaratan:
Ketentuan Umum:
  1. Beasiswa ini diberikan kepada mahasiswa yang tengah menyelesaikan studi akhir: skripsi, tesis, dan disertasi.
  2. Peserta mengirimkan proposal skripsi, tesis, dan disertasinya yang telah disetujui dan direkomendasikan oleh pembimbing, dekan fakultas (direktur program pascasarjana)
  3. Pemilihan berkaitan dengan tema-tema keislaman dari bidang studi apa pun.
  4. Dewan redaksi Mizan akan melakukan seleksi awal dari proposal terpilih kemudian akan dinilai oleh dewan juri.
  5. Karya pemenang akan dipertimbangkan untuk diterbitkan oleh Mizan.
  6. Proposal diterima paling lambat 31 Maret 2018
Persyaratan Administratif:
  1. Warga negara Indonesia
  2. Sedang melakukan penelitian untuk studi akhir
  3. Mengirimkan proposal penelitian
  4. Memiliki IPK minimum 2.75 untuk mahasiswa program S1 dan 3.0 untuk mahasiswa program S2 dan S3 yang ditunjukkan dengan transkip nilai terakhir
  5. Menyertakan surat rekomendasi dari Dekan untuk mahasiswa program S1 dan Direktur Pascasarjana untuk mahasiswa program S2 dan S3
  6. Belum pernah mendapatkan beasiswa Mizan sebelumnya
  7. Proposal yang masuk menjadi milik panitia dan tidak dikembalikan
Tata Cara Pengiriman Karya Peserta:
  1. Mengirimkan via Pos hasil karya peserta dalam bentuk Print Out ke Panitia Beasiswa Mizan:
          PT. Mizan Publika
          Jl. Jagakarsa Raya no.40 RT07/RW04
          Jagakarsa, Jakarta Selatan 12620
  1. Pengiriman karya harus disertai kelengkapan administrasi pendukung seperti:
  • Kartu Tanda Mahasiswa
  • Kartu Tanda Penduduk
  • Foto diri ukuran 3X4 berwarna
  • Daftar riwayat hidup (CV) lengkap dengan alamat e-mail dan nomor telepon
  • Transkrip nilai terakhir
  • Surat keterangan rekomendasi dari pembimbing dan Dekan untuk mahasiswa program S1 dan Direktur Pascasarjana untuk mahasiswa program S2 dan S3
  • Surat kesediaan mengikuti beasiswa
Pengumuman penerima Beasiswa Mizan akan dilakukan paling lambat Akhir Juli 2018

Baca info aslinya pada
http://www.mizan.com/beasiswa-mizan-2018/

BEASISWA MORA S3 (LN) 2018-2019

Sahabat Baper (pem-Bawa Perubahan) 
Saya baru saja mendownload Pengumuman Beasiswa s3 Mora Luar Negeri 2018-2019 Kementerian Agama Republik Indonesia. 
Sila dibaca, mungkin ada yang berminat dan memenuhi syarat
Kunjungi Linknya di halaman terakhir.











Bisa cek di laman berikut ini

FATHANAH MINUS AMANAH = MUSIBAH

(Ini tulisan lama, tapi masih relevan, in sya Allah)
**********************************
Nama “Ahmad Fathanah” menjadi buah bibir khalayak, setelah kasus impor sapi ramai meyeruak. Pemberitaannya di media semakin membludak. Di TV, radio, koran, majalah dan internet namanya menjadi pergunjingan orang banyak. Reating “negatif”-nya di dunia maya menjadi makin menanjak.  Reputasi dan martabatnya pun kian hari kian terkoyak. Terlebih setelah aliran dana kepada sejumlah wanita dekatnya terkuak. Di antara mereka ada yang menerima ratusan juta fulus. Ada juga yang mendapatkan mobil mulus. Juga perhiasan, intan berlian dan aksesoris lain yang bagus-bagus. Tampang Fathanah dan teman-teman wanitanya menjadi incaran kamera awak media. Beritanya pun menjadi bukan sekedar berita biasa. Beritanya dikemas dengan beranekaragam tema dan model acara. Singkat kata, Ahmad Fathanah telah menjadi primadona media.
Di lain pihak, ketika Fathanah cs disibukkan oleh pertanyaan-pertanyaan penyidik KPK. Tidak sedikit di antara warga masyarakat yang melayangkan kata “sayang seribu sayang”, bahkan caci maki terucap tegang. Mereka menyayangkan sikap Fathanah yang telah mencedrai nama baik dirinya, keluarga,  kelompok dan agamanya. Mereka mencaci-maki kecerdasan (sifat fathanah) yang di milikinya, yang digunakannya untuk hal-hal yang tidak bermoral semacam korupsi, rasuah dan dugaan gratifitasi seks dan money loundry. Kecerdasan yang dinugerahi Tuhan kepadanya, benar-benar telah mengantarkan dirinya kepada suatu masa kehinaan dan kehancuran dalam hidupnya. Rasa dingin di balik jeruji besi sudah mengancam. Penyitaan dan pemiskinan dari KPK menjadi sesuatu yang menakutkan dan mencekam. Masa depan pun kian menunjukkan suram. Lembaran kehidupan yang dulu terang kini berangsur-angsur buram. Semuanya hanya karena sifat fathanah, yang tidak dibarengi oleh sifat amanah. Sehingga dapat dirumuskan; Sifat Fathanah – Sifat Amanah = Musibah atau secara gamblang kerangka pikir tersebut senada dengan; Cerdas – Jujur = Hancur.
Dari penggalan kisah Ahmad Fathanah tersebut, rumus sederhana di atas muncul. Mungkin inilah hikmah yang dapat dijadikan ibrah atau pelajaran bagi kita semua, agar senantiasa mensinergikan antara sifat fathanah dan amanah. Pembaca yang terhormat, marilah kita tinggalkan kisah runyam Ahmad Fathanah dan bidadari-bidadari yang mengitarinya, dan marilah kita berdikusi tentang rumus sederhana diatas.
Pembaca – rahimakumullah -, sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa sifat fathanah merupakan salah satu dari empat sifat tauladan rasululullah. Fathanah dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan kata cerdas atau pintar. Penyandingan sifat inilah yang mungkin banyak menggugah para cendekia, pemikir dan pengkaji tema-tema keislaman untuk mereinterpretasi terhadap “ke-ummi-an” rasulullah. Dalam artian, selama ini rasulullah selalu diidentikkan dengan sifat ummi, yang ditafsirkan oleh sejumlah ulama’ sebagai orang yang tidak cakap membaca dan menulis (laa yaqra’u wa laa yaktubu). Kondisi ini menjadi tidak sinkron, manakala satu pihak mengatakan bahwa rasulullah memiliki sifat cerdas, dan satu pihak mengatakan buta huruf.
Masing-masing ulama’ memiliki alasan masing-masing. Yang menyatakan rasulullah cerdas karena memang dalam sejarahnya, rasullah terkenal sebagai manusia yang sempurna (insaanun kaamilun). Beliau seorang niagawan yang sukses dalam perniagaan. Dan sangat mustahil jika itu semua diraih tanpa sifat fathanah. Rasulullah adalah seorang nabi yang berdakwah tidak hanya melalui medium lisan semata, tapi juga via surat menyurat (korepondensi) seperti surat yang dibuatnya kepada kaesar Heraclius dan raja lainnya. Jadi, sangat mustahil jika rasulullah tidak bisa membaca dan menulis dan masih banyak fakta sejarah yang tidak dapat dibantah kebenarannya, mengenai sifat fathanah rasulullah. Bagi yang mengatakan bahwa rasulullah adalah ummi, tiada lain maksud para sahabat, tabi’in dan ulama’ adalah untuk melindungi rasulullah dari fitnah orang-orang yang mencari-cari titik kelemahan al-Qur’an.
Sifat fathanah yang disandang oleh rasulullah, sesungguhnya telah memberikan ruang dan gerak yang luas bagi rasulullah dalam menyampaikan risalah yang diembannya, sehingga Islam dapat disampaikannya dengan mudah, baik dan benar, serta dapat diterima oleh masyarakat Mekkah pada saat itu. Dengan sifat tersebut, rasulullah mampu menyampaikan kepada umatnya berupa ayat-ayat al-Qur’an dan wahyu lainnya yang diturunkan oleh Allah kepadanya. Tidak hanya itu, rasulullah juga amat cerdas dalam membaca kondisi sosial, budaya, kepercayaan, kebutuhan dan ragam hidup masyarakat jahiliyah saat itu. Kecerdasan yang dianugerahi tersebut tidak lantas membuatnya berangan-angan untuk mengeruk keuntungan berupa harta, tahta dan wanita dengan melakukan penipuan, pembohongan dan pembodohan public terhadap masyarakat Mekkah. Sekalipun Beliau pernah ditawarkan bahkan disuap oleh kafir Qurays untuk “pansiun dini” menjadi seorang nabi dan rasul, dengan iming-iming kekuasaan, jabatan, harta dan berbagai layanan kepuasaan. Kecerdasan yang dimilikinya sungguh dijadikannya sebagai sesutu yang membawa maslahat bagi Islam dan semesta alam.
Kemampuan rasulullah dalam mengendalikan sifat fathanahnya, tidak lain karena Ia juga mengiringinya dengan sifat amanah, jujur dan enggan berkhianat. Sudah menjadi rahasia publik, betapa banyak orang yang pintar, cerdas, dan memiliki sifat fathanah, namun tidak lain yang terjadi hanya ketidakjujuran, kemunafikan, pembodohan dan penyesatan. Ilmu yang dimiliki tidak lagi menjadi sesuatu yang melindungi diri dari segala bentuk sikap dan perilaku amoral. Ilmu yang dikuasai seakan-akan menjadi alat pengeruk kepuasan duniawi semata dan mencampakkan sifat amanah. Siapa yang tidak tahu bahwa para koruptor di negeri ini adalah orang-orang yang terdidik, orang yang cerdas dan mengerti hukum, tidak hanya itu mereka juga paham soal agama.
Oleh karena itu sifat amanah memberikan kontribusi yang besar dalam mengendalikan sifat fathanah seseorang. Amanah tidak lain merupakan monitor yang mengendalikan kepintaran manusia, agar kecerdikan yang dimilikinya tidak disalahgunakan dalam mengemban tugas sebagai pemimpin, karyawan, pengusaha dan intinya khalifah di muka bumi ini. Akhirnya, semoga kita selalu dimudahkan dalam mengemban tugas yang telah diamanatkan kepada kita. Wallahu a’lam bisshawaab.

Prosmala Hadisaputra

Pengajar di Ponpes Selaparang Kediri
Lombok Barat

Awardee LPDP-PK-89
Ph.D Student in Islamic Studies
University of Malaya 
Kuala Lumpur-Malaysia

Sabtu, 25 November 2017

BILAH BAMBU PAK SUKAR


Pak Sukar, begitulah biasa ia dipanggil. Atau kadang-kadang dipanggil dengan nama lengkapnya, Pak Sukardi. Dia guru pertamaku saat aku masuk sekolah di SD. Perawakannya tinggi, tak terlalu gemuk, juga tak terlalu kurus. Satu kata, “ideal”. Kulitnya putih bersih. Kumisnya dicukur rapi. Jenggotnya dicukur mulus. Tak bersisa. Rambutnya yang lurus disisirnya ke kanan. Rambutnya hitam mengkilat.  “Sepertinya, rambut pak guru baru habis di-tanco atau di-brisk.”  Gumamku dalam hati. Jika boleh kuberi tahu. Tanco dan Brisk, adalah dua merk minyak rambut yang ngtrend saat itu. Ya tahun itu,  tahun 1990-an.

Aku juga masih ingat baju safari biru tuanya. Baju safari berlengan pendek itu. Baju itu memiliki tiga saku. Satu di atas, tepat di dada sebelah kirinya, dan dua saku lainnya di bagian bawah kiri dan kanan. Model bagian belakang baju safarinya terbelah. Jika ia mengendarai motor, belahan belakangnya berkibar-kibar diterpa angin. Baju safari yang indah. Baju safari pelambang kewibawaan. Aku ingin jadi guru.
Tiap hari ia akan datang ke sekolah mengendarai motor tuanya. Seingatku motor itu berwarna merah tua. Motornya kurus kering. Bodynya full besi. Tak seperti motor era sekarang. Full plastik. Asapnya mengepul tebal, macam asap poging nyamuk demam berdarah.

Ada satu aksesoris penting milik Pak sukar. Aksesoris yang tidak akan pernah kulupakan. Aksesoris yang tidak lepas dari dirinya. Kau tahu kawan, aksesoris itu adalah bilah bambu.  Bila bilah bambu sudah habis remuk, Pak Sukar akan menjadikan penggaris panjang coklat, lagi berangka itu, sebagai aksesoris selanjutnya. Bila kedunya sudah remuk atau patah, Pak Sukar akan menyuruh kami, semua muridnya, untuk membawa bilah bambu. Tidak hanya satu, namun 2 hingga 3 bilah. Bilah bambu selalu kukenang. Penggaris coklat pun tak akan pernah lekang. 

Kau tahu kawan! Bilah bambu dan pengaris coklat itu tidak remuk dihentak-hentak di papan tulis. Justru keduanya remuk di atas punggung kami. Itu bila kami tak bisa-bisa membaca. itu bila kami tak pandai-pandai merangkai huruf. Itu bila bibir Pak Guru sudah berbusa mengajar kami. Semua kawan-kawan sekelasku pernah digebuk Pak Sukar. Tak terkecuali Aku.

Kini aku berdiri di altar University of Malaya. Salah satu universitas berkelas internasional. Peringkat 114 terbaik dunia. Kupandang diriku sendiri. Ada rindu merasuk indah ke relung hatiku. Aku rindu gebukan Pak Sukar. Gebukan yang menghangatkan. Gebukan yang membangkitkan.  Gebukan yang memantik semangat. Bilah bambu yang bertuah. Bilah pengunggah berkah. Aku rindu bilah bambu dan penggaris coklat itu. Aku rindu gaya sisirannya. Aku rindu semua tentangnya.
***
Saat duduk di kelas satu SD, Pak Sukar meminta kami, satu persatu, untuk mengeja kata, yang ia tulis di papan. Seperti yang kubilang kawan. Jika muridnya tak bisa mengeja, Pak Sukar akan memukul punggung kami dengan bilah bambu. Kelet, Kandik, Jeki, Jaen, Peri, Patah Polak, semuanya pernah dipukul. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku pun demikian. 

Ada satu masa, entah apa yang membuat saya begitu cerdik. Bukan cerdas kawan. Ini layaknya akal si Kancil. “Aku boleh dipukul setiap salah mengeja kata. Tapi aku tidak boleh merasa sakit”, pikirku. Ide itu muncul spontan saja di pikiranku. Ah, malam itu terasa begitu panjang sekali. Aku tak sabar dengan datangnya pagi. Aku ingin bertemu Pak Sukar. Aku ingin buktikan ide cerdikku, sekali ini.

Pagi itu aku bangun cepat. Seperti biasa, aku dan kawan-kawan biasa mandi di kolam Masjid Atas. Bila airnya mengering kami biasanya mandi di sumur pompa air di Masjid Atas. Masjid Atas adalah Masjid tua di kampung kami. Masjid lambang perlawanan terhadap Islam Waktu Telu di kampungku.

Aku bergegas berangkat ke sekolah. Kami tidak biasa sarapan di rumah. Biasanya kami sarapan di jalan. Kami buat ’tekotan’, semacam mangkok yang kami bentuk dari daun pisang. Kami tiba di sekolah beratap seng berkarat itu. Entah berapa tahun umur seng renta itu. Tak pernah diganti-ganti. Bila musim hujan, air akan menggenang di kelas. Atapnya bocor. Air juga merembes membasahi dinding kelas.  Catnya mulai memudar. Bahkan sudah ada yang berlumut.  Sekolah kami juga  tak memiliki dinding pembatas. Apalagi pintu gerbang. Kami sering jumpai kotoran binatang di teras, depan kelas kami. Anak-anak kampung di sekitar sekolah kami pun, sering berak di lapangan sekolah.Kini sekolah itu sudah nampak lebih baik.
***
Lonceng berbunyi. Kami masuk kelas. Jam pertama adalah belajar membaca. Yes, Pak Sukar sudah datang. Hatiku gembira. Pak Sukar masuk kelas dan mulai mengajar kami. Satu persatu kemampuan kami dijajaki. Kandik, Lehel, Patah Polak, Isyah Esot, Erlan Melong, Jaen, Celuneng, Ceroh, Jaen, Kelet, semuanya tak lepas dari bilah bambu. Mereka meringis. Sisi bibir kiri mereka terangkat spontan. Meski meringis, tak ada yang menangis. Tidak ada yang melapor ke orang tua. Bila mereka melapor, orang tua mereka memiliki bilah bambu lebih besar dari Pak Sukar.

Tibalah giliranku. Aku disuruh mengeja. Entahla, aku tak ingat kata yang ditulis Pak Sukar waktu itu. Yang Aku ingat “aku tak bisa mengeja”. Setiap kata yang ditulis Pak Sukar tak dapat kukenali. Huruf-hurufnya bagai bilah bambu semua. Mulutku kelu. Aku tetap tenang. Saatnya menjalankan ideku. Plak!. . Bilah bambu mendarat aman di punggungku. Aku nyengir, macam senyum kuda. Berkali-kali pundakku dipukul. Aku nyengir. Aku tak meringis sakit. Aku seakan merasa punya ilmu kebal. Kau tahu kawan, kenapa aku tak meringis? Sebab aku memakai tas ransel. Di dalamnya kuisi buku-buku. Tapi tas ransel itu hanya bertahan sebentar, sebab aku pandai membaca. Itu karena gebukan Pak Sukar.

Pak Sukar amat berjasa. Ia menjadikan kami melek literasi. Tidak hanya itu, ia sering menjaga kami agar tidak kabur bila “Tukang Suntik” itu datang. Sebab Aku pernah merusak kawat jendela kelas, karena takut disuntik. Itu dulu. Apakah Pak Sukar marah? Tidak. Bila kami berkelahi, apakah ia menggunakan bilah bambu mendamaikan kami? Tidak. Bila kami pukul-pukul meja, apakah ia menjadi bringas? Tidak. Sekarang kau tahu kawan, kapan bilah bambu ia gunakan. 

Bilah bambu itu itu telah menjadi tangga. Ia menghantarkanku menuju altar megah ini. Terima kasih Pak Guru!, tanpamu apa jadinya aku. 


Kuala Lumpur, 25 Novempber 2017.
Prosmala Hadisaputra
Ph.D Student in Islamic Education
University of Malaya-Kuala Lumpur
Malaysia




Kamis, 23 November 2017

SELAMAT HARI GURU




Video ini didedikasikan buat guru-guru saya di SDN 11 Kuripan (SDN 4 Kuripan), MTs./MA. Selaparang Kediri, Ma'ad Darul Qur'an Wal Hadits Al-Majidiyyah al-Syafi'iyyah NW Anjani, Fak Dakwah dan Komunikasi dan Pascasarjana Universitas Negeri Islam Negeri Mataram, Islamic Education Departement - Academy of Islamic Studies University of Malaya, dan semua guru yang pernah mengajarkan saya satu huruf pun, SAYA ADALAH BUDAKMU, sungguh TANPAMU apa jadinya aku.

SEMANGAT KEBANGSAAN NAHDATUL WATHAN


Sebagai organisasi terbesar di Bumi Seribu Masjid ini, Nahdlatul Wathan atau yang lebih dikenal dengan singkatan NW, telah eksis sebelum kemerdekaan bangsa ini. 78 tahun usianya kini, yang dirayakan dalam acara Hultah NWDI, merupakan bilangan usia yang masuk katagori istimewa lagi terpuji. Walau usianya sudah demikian tua, tidak lantas ia renta, tak berenergi. Bahkan dengan usia tuanya ini, semangat berkarya untuk bangsa menjadi kian kuat terpatri. Segudang pengalaman yang telah lalu menjadi energi dan motivasi, untuk berkompetesi menuju kebaikan duniawi dan ukhrawi. Karena “Nahdlatul Wathan fil Khair, Nahdlatul Wathan fastabiqul khairat” – yang berarti, NW dalam kebaikan dan NW berlomba-lomba menuju kebaikan.
Secara historis, NW resmi menjadi ormas yang bergerak di bidang pendidikan, sosial dan dakwah pada tahun 1953. Namun duoembrionya yaitu dua lembaga pendidikan NWDI (Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah) dan NBDI (Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah) telah lama eksis sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di tahun 1945. NWDI sebagai lembaga pendidikan yang diperuntukkan khusus untuk kaum laki-laki telah eksis sejak tahun 1937. Sedangkan NBDI sebagai lembaga pendidikan yang disiapkan khusus untuk perempuan resmi didirikan pada tahun 1943.
Penamaan NWDI, NBDI dan NW oleh pendirinya Maulana Syeikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, bukanlah tanpa pertimbangan dan istikharah yang matang. Tentunya ini tidak terlepas dari kondisi dan situasi penjajahan pada saat itu. Di mana pada saat itu rakyat Indonesia dan Lombok khususnya dalam genggaman kaum penjajah Belanda dan Jepang yang serba brutal. Hak kemanusiaan mereka terkoyak. Kondisi pendidikan masa itu amatlah terbatas. Terbatas bagi orang atau golongan tertentu. Bahkan pendidikan bagi wanita adalah sesuatu yang tabu dan dilarang keras. Pesantren dan majlis taklim diawasi selalu. Bahkan ada yang ditutup karena ditahu kaum penjajah mengajarkan nasionalisme dan patriotisme. Ekonomi rakyat kala itu morat-marit. Tidak sedikit di antara mereka yang mati kelaparan. Kondisi sosial mereka saat itu kacau-balau. Tidak sedikit di antara mereka yang perang saudara dan saling membunuh, baik secara langsung dengan senjata maupun dengan kekuatan magis, sihir. Kondisi politik saat itu memang kejam. Tidak sedikit di antara mereka yang ditangkap kemudian dipejara dan diasingkan. Bahkan banyak yang dibedil di tempat oleh penjajah. Kondisi yang demikian menjadi inspirasi bagi Maulana Syeikh, yang kemudian mengilhami nama lembaga yang ia dirikan yaitu NWDI dan NBDI pada masa prakemerdekaan dan NW pada masa pascakemerdekaan. Lalu apa makna itu semua?
NWDI sebagaimana yang dipaparkan di atas merupakan singkatan dari “Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah”. Nahdhah dalam kamus bahasa Arab terambil dari kata nahadha – yanhadhu – nahdlatan yang berarti bergerak, pergerakan, bangkit dan kebangkitan. Sedangkan al-Wathan dalam bahasa Arab berarti bangsa dan tanah air. Jadi Nahdlatul Wathan dapat dimaknai sebagai pergerakan tanah air atau kebangkitan bangsa yang berbasis Islam. Karena di samping sebagai lembaga pendidikan, juga sebagai markas pergerakan kemerdekaan Indonesia, yang mengakomodir para pemuda Sasak unuk melawan penjajahan melalui pendidikan dan peperangan. Tidak hanya mengakomodir para pemuda namun juga para pemudi Sasak dalam satu gerakan yang dinamai dengan NBDI (Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah). Nahdlah sebagaimana paparan di atas berarti “pergerakan”. Sedangkan al-banat adalah kata plural dari bintun yang berarti anak perempuan. Jadi missi NBDI adalah menggerakan kaum perempuan untuk memerangi segala bentuk penjajahan dan penindasan. Hal tersebut dilakukan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan yang seringkali dipandang sebelah mata. Padahal perempuan adalah tiang Negara (‘imadul bilad). Melalui NBDI, para perempuan Sasak dapat mengenyam pendidikan yang layak dan mereka saat itu menjadi bagian dari perjuangan melawan penjajah, semacam penyedia logistik atau konsumsi. Dua nama lembaga ini menjadi dalil kuat bahwa semangat kebangsaan menjadi sesuatu yang mutlak bagi pendirinya.
Dan tidak patut dilupakan, bahwa sebelum duoemrio tersebut terbentuk, sebenarnya Maulana Syeikh telah mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama “al-Mujahidin” pada tahun 1934 M.. Lagi-lagi dengan nama tersebut menjadi sinyal kuat bagaimana ideologi kebangsaan yang ia miliki dan hendak ia tanamkan kepada putra-putri suku Sasak. Karena kata al-Mujahidin dalam bahasa Arab berarti para pejuang atau para pahlawan. Dengan nama tersebut diharapkan santriwan dan santriwatinya memiliki rasa juang yang tinggi untuk membela bangsa dan tanah airnya, dari segala bentuk penjajahan, ketertindasan dan keterbelakangan.
Menurut Maulana Syeikh, semangat kebangsaan tidak hanya dikobarkan saat kondisi tanah air terjajah dan diperangi musuh. Namun lebih dari itu, yang paling esensi adalah bagaimana semangat kebangsaan tersebut terus menerus disulut, demi menjaga dan mengisi kemerdekaan, ragam kegiatan dan aktivitas positif. Oleh karena itu pascakemerdekaan Republik Indonsia, Maulana Syeikh - dengan semangat kebangsaannya dan rasa cinta terhadap tanah airnya - mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan  (NW) sebagai tindak lanjut dari semangat kebangsaan yang telah dikobarkan bersama pemuda-pemudi Sasak sebelum Indonesia merdeka.
Tentunya, eksplorasi kontribusi dan semagat kebangsaan Nahdlatu Wathan dalam tulisan ini merupakan bagian dari rasa syukur dan menghargai jasa-jasa pendirinya. Karena ia adalah bagian dari para pahlawan bangsa ini. Bukankah orang bijak berpetuah – “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”?
Semangat kebangsaan Nahdlatul Wathan dapat ditilik dari ruang lingkup pergerakannya, yaitu pendidikan, sosial dan dakwah. Ketiga ruang lingkup inilah hal pokok yang digariskan oleh pendirinya. Sekalipun jika dikaji lebih mendalam, sesungguhnya semangat kebangsaan Nahdlatul Wathan tidak hanya tercermin dari ketiga bidang tersebut, namun kini telah menjamah bidang ekonomi dan politik.
Di bidang pendidikan, NW telah mampu memberikan kontribusi nyata. Di mana lebih dari 1000 madrasah dan pondok pesantren berada di bawah payung NW.  Hal ini menjadi prestasi yang prestisius yang layak dibanggakan. Dan lebih dari itu tidak sedikit abiturennya telah menjadi ulama’, ustaz, da’i, pejabat Negara, pemimpin organisasi, partai politik dan sebagainya. Dalam konteks kekinian NW telah menjadi primadona di kalangan pondok pesantren. Semangat kebangsaan yang ditoreh melalui bidang pendidikan telah banyak membuahkan hasil. Ada segudang prestasi yang telah diraih. Dan yang terkini, NW melalui kiprahnya di bidang pendidikan telah mampu menunjukkan kemampuannya di bidang teknologi. Di mana baru-baru ini sejumlah mahasiswanya berhasil mendigitalisasi Hizib Nahdlatul Wathan dalam versi android. Juga baru-baru ini, NW telah menjalin kerjasama dengan organisasi NU dan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, yang kemudian direalisasikan dalam sebuah seminar pendidikan. Dalam seminar tersebut ketiga organisasi besar tersebut duduk bersama, berdiskusi dan saling berbagi ilmu tentang pendidikan. Kegiatan yang demikian tentunya mampu memompa semangat kebangsaan dalam persatuan yang kokoh.
Di bidang sosial, NW telah membuktikan semangat kebangsaannya dengan banyak mendirikan lembaga-lembaga sosial semisal panti asuhan, klinik, badan amil zakat dan sebagainya. Juga melakukan aksi sosial seperti santunan sosial, sunatan massal, cek up kesehatan gratis, bazar dan lainnya. Demikian pula dalam bidang dakwah islamiyah, NW telah mampu mendirikan majlis dakwah dan pengajian, baik yang bertempat kota maupun di desa. Itu semua tidak lain bertujuan agar moral bangsa selalu terjaga sehingga selalu dapat diaktualisasikan dalam sikap dan perilaku. Menjaga moral bangsa berarti menjag semangat bangsa. 
Di bidang ekonomi, NW telah banyak mendirikan koperasi dan mini bank dengan bekerjasama dengan bank nasional dan lokal. Hal tersebut dilakukan dalam rangka melayani segala bentuk pembayaran mahasiswa yang jumlahnya ribuan dengan praktis dan sistemik. Pengelolaan yang demikian professional memungkinkan perekonomian tanah air akan lebih maju. Dan dengan itulah semangat kebangsaan Nahdlatul Wathan tidak diragukan lagi. Dan masih banyak hal yang menunjukkan semagat kebangsaannya terhadap negeri tercinta ini.
Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua dalam menjaga semangat kebangsaan kita. Mengingat dan menyebut jasa para pejuang kemerdekaan termasuk di dalamnya para ulama’ merupakan salah satu bentuk kesyukuran atas nikmat kemerdekaan yang telah diperoleh. Bukankah Allah berfirman di akhir QS. al-Dhuha: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu menyebutnya!”. Wallahu a’lam bisshawab.

Prosmala Hadisaputra


     
  


SPIRITUALITAS MAULID


Perayaan maulid dipandang sebagai seremonial tradisi keislaman. Dalam sejarah Islam, asal muasal maulid masih menjadi diskursus tanpa episode. Ada yang mengatakan bahwa perayaan maulid telah dimulai pada masa dinasti Fathimiyah. Sebagian lagi berpendapat, maulid untuk pertama kalinya dirayakan pada awal musim perang Salib yang digagas oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Di samping perdebatan dari perspektif sejarah, juga mengenai hukum perayaannya yang hingga saat ini terus bergulir layaknya bola api, apakah sunnah atau bida’ah.
Terlepas dari pro-kontra di atas, sesungguhnya ada banyak nilai yang dapat diambil dalam setiap perayaan maulid Nabi. Sehingga maulid tidak elok bila hanya diteropong dengan satu atau dua pendekatan, semisal perspektif sejarah dan hukum syari’at, namun perlu juga diteropong melalui pendekatan  lainnya semisal sosial, budaya, politik dan pendidikan.
Dalam tulisan ini, penulis hendak meneropong kegiatan maulid melalui kaca mata pendidikan. Selama ini maulid oleh sebagian kalangan dinilai sebagai bagian dari perilaku boros. Namun tidakkah disadari bahwa ada nilai-nilai pendidikan spiritual yang tertancap kuat dalam perayaan maulid itu sendiri, yang lebih banyak dan lebih masuk akal daripada alasan sekadar “boros”. Maka perayaan Mulid sebenarnya dihajatkan sebagai salah satu jalan untuk selalu memperbaharui diri menjadi manusia yang memiliki spiritualitas tinggi.
Adapun nilai-nilai spiritual tersebut dapat dilacak melalui rangkaian seremonialnya. Dalam tradisi Sasak, maulid secara jamak diagendakan dengan sejumlah rangkaian acara, biasanya meliputi pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, khataman al-Qur’an (dalam bahasa Sasak biasa disebut namatan), pembacaan al-Barzanji (dalam tradisi Sasak disebut Serakalan), ceramah agama (pengajian), zikir (dalam bahasa Sasak disebut rowah) dan penutup do’a.
Pembacaan ayat al-Qur’an merupakan acara pembuka setiap kegiatan, tidak terkecuali maulid Nabi. Pembacaan al-Qur’an memiliki implikasi terhadap spiritualitas seorang hamba. Ia dapat menambah keimanan, melunakkan hati yang keras, menggetarkan jiwa yang sombong, melumpuhkan angan-angan duniawi, memotivasi jiwa yang rapuh, menghidupkan hati yang mati dan sebagainya.
Dalam acara-acara maulid, qari’ atau qari’ah biasanya melantunkan Q.S al-Ahzab ayat 21 (laqad kaana lakum fi rasuulillaah….). Ayat tersebut menegaskan bahwa Rasulullah merupakan manusia yang memiliki spirualitas yang tinggi dengan kemuliaan budi pekertinya. Tidak hanya itu, sepiritualitas juga dapat diraih dengan banyak berzikir kepada-Nya, baik dalam bentuk ibadah mahdhah (pokok) semisal shalat, puasa, zakat maupun ibadah ghairu mahdhah semisal zikir setelah shalat, infak, menyingkirkan duri di jalan dan lain-lain.
Setelah pembacaan al-Qur’an selesai, biasanya dilangsungkan dengan acara khataman al-Qur’an. Dalam tradisi Sasak, kegiatan ini disebut namatan Qur’an. Anak-anak yang telah menamatkan al-Qur’an pada guru ngajinya diuji mentalnya di hadapan orang banyak untuk membaca al-Qur’an. Kegiatan seperti ini tentu sangat mendidik mental dan spiritual anak. Anak-anak yang telah namatan biasanya sudah teruji mentalnya dan lebih percaya diri, sehingga menjadi modal awal untuk terus membaca al-Qur’an agar spiritualiatasnya berkarakter al-Qur’an.
Setelah acara namatan, dilanjutkan dengan berzanji (selakaran). Dalam selakaran ini dibaca kitab Maulid Berzanji. Kitab tersebut banyak menjelaskan sejarah Rasulullah. Sehingga banyak nilai spiritual yang dapat diambil di antaranya; sikap jujur (shiddiq). Dalam bahasa Arab jujur disepadankan dengan kata “al-amanah wal ikhlash”. Jujur merupakan perilaku yang mengimplementasikan sikap amanah dan ikhlas dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang individu sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi. Sebelum Islam turun, popularitasnya sebagai “bisnisman” yang jujur dan terpercaya telah tersebar di kalangan suku Quraisy. Popularitas tersebut distempel dengan sebutan al-Amin (yang amanat).
Diceritakan juga dalam kitab al-Barzanji sebagai hamba yang sederhana. Kesederhanaannya dapat dilihat mislanya dari keistiqamahannya dalam berpuasa, perabotan rumahnya yang sangat sederhana, tempat tidurnya yang terbuat dari pelepah kurma. Hal tersebut tidak berarti bahwa Rasulullah miskin, melainkan beliau adalah orang yang kaya raya. Hal tersebut dapat ditilik dari kesuksesannya berniaga. Sehingga ketika Rasulullah menikahi Siti Khadijah, maharnya pun tidak terbilang sedikit yaitu 200 ekor unta. Jadi, kesederhanan tersebut beliau lakukan untuk memberikan suri teladan kepada umatnya.
Juga karakternya yang gemar bekerja keras diungkap dalam al-Barzanji. Seperti yang dimaklumi bersama bahwa Rasulullah sebelum karirnya melambung tinggi, beliau adalah seorang penggembala kambing. Walau Beliau keturunan suku yang mulia (Quraisy), baginya harta yang dihasilkan dari keringat sendiri lebih berkah daripada harta yang diperoleh tanpa keringat sendiri. Sebab, ketiadaan atau lemahnya karakter kerja keras seseorang, dapat menjadikan jiwanya dipenuhi hawa nafsu, keinginan-keinginan yang membabi-buta untuk memperoleh harta, wanita dan jabatan dengan jalan yang tidak wajar, bahkan tidak halal, sehingga terjadilah praktik korupsi dalam bentuk suap-menyuap, gratifitasi seks, kolusi, nepotisme, pesugihan, mengemis dan lain sebagainya.
Di samping nilai-nilai spiritual di atas, masih banyak nilai yang dapat diambil dalam kitab Berzanji. Kemampuan Sayyid Ja’far – penulis Berzanji – meramu buku sejarah tersebut dalam bentuk sya’ir, menandakan bahwa ia memiliki talenta dalam kesustraan. Bahasa sya’ir yang digunakan memiliki nilai-nilai kesustraan yang mampu menyentuh hati sanubari pembacanya. Huruf akhir kalimat yang dibentuk dengan bunyi huruf yang sama, membuat bait-bait sya’irnya semakin indah. Kitab Berzanji disuguhkan dengan sistematik yang mengarahkan pembacanya senantiasa menjeda dengan bacaan shalawat. Sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas tersebut memiliki efek terhadap kualitas spiritual pembacanya, karena membaca shalawat berarti mendekatkan hamba dengan Allah dan dengan rasul-Nya.
Setelah acara pembacaan berzanji selesai kemudian dilanjutkan dengan ceramah agama. Dalam ceramah tersebut banyak diungkap nilai-nilai spiritual yang dimiliki oleh Rasulullah. Sehingga nilai-nilai spiritualitas pada rangkaian acara sebelumnya menjadi lebih kuat dan membekas di jiwa.
Setelah itu, dilanjutkan dengan acara rowah atau zikir. Zikir memiliki kekuatan dalam membentuk spiritual seseorang. Zikir merupakan komunikasi spiritual antara hamba dan Tuhannya.  Bibir yang senantiasa basah dengan zikir berimplikasi pada ketenangan hati. Ia ibarat ditergen yang mampu mensucikan jiwa dari keruhnya pengaruh nafsu duniawi. Hamba yang suci jiwanya telah dijanjikan oleh Allah sebagai manusia yang beruntung. Kesempurnaan acara maulid kemudian ditutup dengan do’a. Hal tersebut tentunya dapat menguatkan secara sempurna nilai-nilai spiritual yang telah diperoleh dari rangkaian acara sebelumnya. Sebab sebagai yang dimaklumi bersama bahwa do’a semisal dengan zikir. Do’a merupakan media utama dalam menjaga dan menguatkan semua spiritualitas yang telah dimiliki oleh seorang hamba. Rasulullah mengajarkan umatnya doa: “Ya Allah, bantulah kami untuk mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu”.
Nilai-nilai spiritul dalam perayaan maulid di atas tentu akan diperoleh melalui proses yang ikhlas, benar dan khidmat. Ikhlas berarti bahwa maulid yang dilakukan diniatkan karena Allah. Benar dan khidmat berarti bahwa kegiatan berzanji harus dilakukan dengan etika, sopan santun dan bacaan berzanji yang baik dan benar. Sebab, tidak sedikit masyarakat yang membaca berzanji tidak dibarengi dengan melihat teksnya langsung, sehingga makhrajul huruf-nya pun menjadi tidak terkontrol dan pelaksanaannya menjadi tidak khidmat. Wallahu a’lam bisshawab.


Prosmala Hadisaputra

Pendidik di Ponpes Selaparang NW Kediri
Islamic Studies - University of Malaya
Kuala Lumpur-Malaysia