Sabtu, 25 November 2017

BILAH BAMBU PAK SUKAR


Pak Sukar, begitulah biasa ia dipanggil. Atau kadang-kadang dipanggil dengan nama lengkapnya, Pak Sukardi. Dia guru pertamaku saat aku masuk sekolah di SD. Perawakannya tinggi, tak terlalu gemuk, juga tak terlalu kurus. Satu kata, “ideal”. Kulitnya putih bersih. Kumisnya dicukur rapi. Jenggotnya dicukur mulus. Tak bersisa. Rambutnya yang lurus disisirnya ke kanan. Rambutnya hitam mengkilat.  “Sepertinya, rambut pak guru baru habis di-tanco atau di-brisk.”  Gumamku dalam hati. Jika boleh kuberi tahu. Tanco dan Brisk, adalah dua merk minyak rambut yang ngtrend saat itu. Ya tahun itu,  tahun 1990-an.

Aku juga masih ingat baju safari biru tuanya. Baju safari berlengan pendek itu. Baju itu memiliki tiga saku. Satu di atas, tepat di dada sebelah kirinya, dan dua saku lainnya di bagian bawah kiri dan kanan. Model bagian belakang baju safarinya terbelah. Jika ia mengendarai motor, belahan belakangnya berkibar-kibar diterpa angin. Baju safari yang indah. Baju safari pelambang kewibawaan. Aku ingin jadi guru.
Tiap hari ia akan datang ke sekolah mengendarai motor tuanya. Seingatku motor itu berwarna merah tua. Motornya kurus kering. Bodynya full besi. Tak seperti motor era sekarang. Full plastik. Asapnya mengepul tebal, macam asap poging nyamuk demam berdarah.

Ada satu aksesoris penting milik Pak sukar. Aksesoris yang tidak akan pernah kulupakan. Aksesoris yang tidak lepas dari dirinya. Kau tahu kawan, aksesoris itu adalah bilah bambu.  Bila bilah bambu sudah habis remuk, Pak Sukar akan menjadikan penggaris panjang coklat, lagi berangka itu, sebagai aksesoris selanjutnya. Bila kedunya sudah remuk atau patah, Pak Sukar akan menyuruh kami, semua muridnya, untuk membawa bilah bambu. Tidak hanya satu, namun 2 hingga 3 bilah. Bilah bambu selalu kukenang. Penggaris coklat pun tak akan pernah lekang. 

Kau tahu kawan! Bilah bambu dan pengaris coklat itu tidak remuk dihentak-hentak di papan tulis. Justru keduanya remuk di atas punggung kami. Itu bila kami tak bisa-bisa membaca. itu bila kami tak pandai-pandai merangkai huruf. Itu bila bibir Pak Guru sudah berbusa mengajar kami. Semua kawan-kawan sekelasku pernah digebuk Pak Sukar. Tak terkecuali Aku.

Kini aku berdiri di altar University of Malaya. Salah satu universitas berkelas internasional. Peringkat 114 terbaik dunia. Kupandang diriku sendiri. Ada rindu merasuk indah ke relung hatiku. Aku rindu gebukan Pak Sukar. Gebukan yang menghangatkan. Gebukan yang membangkitkan.  Gebukan yang memantik semangat. Bilah bambu yang bertuah. Bilah pengunggah berkah. Aku rindu bilah bambu dan penggaris coklat itu. Aku rindu gaya sisirannya. Aku rindu semua tentangnya.
***
Saat duduk di kelas satu SD, Pak Sukar meminta kami, satu persatu, untuk mengeja kata, yang ia tulis di papan. Seperti yang kubilang kawan. Jika muridnya tak bisa mengeja, Pak Sukar akan memukul punggung kami dengan bilah bambu. Kelet, Kandik, Jeki, Jaen, Peri, Patah Polak, semuanya pernah dipukul. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku pun demikian. 

Ada satu masa, entah apa yang membuat saya begitu cerdik. Bukan cerdas kawan. Ini layaknya akal si Kancil. “Aku boleh dipukul setiap salah mengeja kata. Tapi aku tidak boleh merasa sakit”, pikirku. Ide itu muncul spontan saja di pikiranku. Ah, malam itu terasa begitu panjang sekali. Aku tak sabar dengan datangnya pagi. Aku ingin bertemu Pak Sukar. Aku ingin buktikan ide cerdikku, sekali ini.

Pagi itu aku bangun cepat. Seperti biasa, aku dan kawan-kawan biasa mandi di kolam Masjid Atas. Bila airnya mengering kami biasanya mandi di sumur pompa air di Masjid Atas. Masjid Atas adalah Masjid tua di kampung kami. Masjid lambang perlawanan terhadap Islam Waktu Telu di kampungku.

Aku bergegas berangkat ke sekolah. Kami tidak biasa sarapan di rumah. Biasanya kami sarapan di jalan. Kami buat ’tekotan’, semacam mangkok yang kami bentuk dari daun pisang. Kami tiba di sekolah beratap seng berkarat itu. Entah berapa tahun umur seng renta itu. Tak pernah diganti-ganti. Bila musim hujan, air akan menggenang di kelas. Atapnya bocor. Air juga merembes membasahi dinding kelas.  Catnya mulai memudar. Bahkan sudah ada yang berlumut.  Sekolah kami juga  tak memiliki dinding pembatas. Apalagi pintu gerbang. Kami sering jumpai kotoran binatang di teras, depan kelas kami. Anak-anak kampung di sekitar sekolah kami pun, sering berak di lapangan sekolah.Kini sekolah itu sudah nampak lebih baik.
***
Lonceng berbunyi. Kami masuk kelas. Jam pertama adalah belajar membaca. Yes, Pak Sukar sudah datang. Hatiku gembira. Pak Sukar masuk kelas dan mulai mengajar kami. Satu persatu kemampuan kami dijajaki. Kandik, Lehel, Patah Polak, Isyah Esot, Erlan Melong, Jaen, Celuneng, Ceroh, Jaen, Kelet, semuanya tak lepas dari bilah bambu. Mereka meringis. Sisi bibir kiri mereka terangkat spontan. Meski meringis, tak ada yang menangis. Tidak ada yang melapor ke orang tua. Bila mereka melapor, orang tua mereka memiliki bilah bambu lebih besar dari Pak Sukar.

Tibalah giliranku. Aku disuruh mengeja. Entahla, aku tak ingat kata yang ditulis Pak Sukar waktu itu. Yang Aku ingat “aku tak bisa mengeja”. Setiap kata yang ditulis Pak Sukar tak dapat kukenali. Huruf-hurufnya bagai bilah bambu semua. Mulutku kelu. Aku tetap tenang. Saatnya menjalankan ideku. Plak!. . Bilah bambu mendarat aman di punggungku. Aku nyengir, macam senyum kuda. Berkali-kali pundakku dipukul. Aku nyengir. Aku tak meringis sakit. Aku seakan merasa punya ilmu kebal. Kau tahu kawan, kenapa aku tak meringis? Sebab aku memakai tas ransel. Di dalamnya kuisi buku-buku. Tapi tas ransel itu hanya bertahan sebentar, sebab aku pandai membaca. Itu karena gebukan Pak Sukar.

Pak Sukar amat berjasa. Ia menjadikan kami melek literasi. Tidak hanya itu, ia sering menjaga kami agar tidak kabur bila “Tukang Suntik” itu datang. Sebab Aku pernah merusak kawat jendela kelas, karena takut disuntik. Itu dulu. Apakah Pak Sukar marah? Tidak. Bila kami berkelahi, apakah ia menggunakan bilah bambu mendamaikan kami? Tidak. Bila kami pukul-pukul meja, apakah ia menjadi bringas? Tidak. Sekarang kau tahu kawan, kapan bilah bambu ia gunakan. 

Bilah bambu itu itu telah menjadi tangga. Ia menghantarkanku menuju altar megah ini. Terima kasih Pak Guru!, tanpamu apa jadinya aku. 


Kuala Lumpur, 25 Novempber 2017.
Prosmala Hadisaputra
Ph.D Student in Islamic Education
University of Malaya-Kuala Lumpur
Malaysia




Tidak ada komentar:

Posting Komentar