Pak Sukar, begitulah
biasa ia dipanggil. Atau kadang-kadang dipanggil dengan nama lengkapnya, Pak
Sukardi. Dia guru pertamaku saat aku masuk sekolah di SD. Perawakannya tinggi,
tak terlalu gemuk, juga tak terlalu kurus. Satu kata, “ideal”. Kulitnya putih
bersih. Kumisnya dicukur rapi. Jenggotnya dicukur mulus. Tak bersisa. Rambutnya
yang lurus disisirnya ke kanan. Rambutnya hitam mengkilat. “Sepertinya, rambut pak guru baru habis di-tanco
atau di-brisk.” Gumamku dalam
hati. Jika boleh kuberi tahu. Tanco dan Brisk, adalah dua merk minyak rambut
yang ngtrend saat itu. Ya tahun itu,
tahun 1990-an.
Aku juga masih ingat
baju safari biru tuanya. Baju safari berlengan pendek itu. Baju itu memiliki
tiga saku. Satu di atas, tepat di dada sebelah kirinya, dan dua saku lainnya di
bagian bawah kiri dan kanan. Model bagian belakang baju safarinya terbelah.
Jika ia mengendarai motor, belahan belakangnya berkibar-kibar diterpa angin. Baju
safari yang indah. Baju safari pelambang kewibawaan. Aku ingin jadi guru.
Tiap hari ia akan
datang ke sekolah mengendarai motor tuanya. Seingatku motor itu berwarna merah
tua. Motornya kurus kering. Bodynya full besi. Tak seperti motor era sekarang. Full
plastik. Asapnya mengepul tebal, macam asap poging nyamuk demam berdarah.
Ada satu aksesoris
penting milik Pak sukar. Aksesoris yang tidak akan pernah kulupakan. Aksesoris
yang tidak lepas dari dirinya. Kau tahu kawan, aksesoris itu adalah bilah
bambu. Bila bilah bambu sudah habis
remuk, Pak Sukar akan menjadikan penggaris panjang coklat, lagi berangka itu,
sebagai aksesoris selanjutnya. Bila kedunya sudah remuk atau patah, Pak Sukar akan
menyuruh kami, semua muridnya, untuk membawa bilah bambu. Tidak hanya satu,
namun 2 hingga 3 bilah. Bilah bambu selalu kukenang. Penggaris coklat pun tak
akan pernah lekang.
Kau tahu kawan! Bilah
bambu dan pengaris coklat itu tidak remuk dihentak-hentak di papan tulis. Justru
keduanya remuk di atas punggung kami. Itu bila kami tak bisa-bisa membaca. itu bila
kami tak pandai-pandai merangkai huruf. Itu bila bibir Pak Guru sudah berbusa
mengajar kami. Semua kawan-kawan sekelasku pernah digebuk Pak Sukar. Tak
terkecuali Aku.
Kini aku berdiri di
altar University of Malaya. Salah satu universitas berkelas internasional. Peringkat
114 terbaik dunia. Kupandang diriku sendiri. Ada rindu merasuk indah ke relung
hatiku. Aku rindu gebukan Pak Sukar. Gebukan yang menghangatkan. Gebukan yang
membangkitkan. Gebukan yang memantik
semangat. Bilah bambu yang bertuah. Bilah pengunggah berkah. Aku rindu bilah
bambu dan penggaris coklat itu. Aku rindu gaya sisirannya. Aku rindu semua
tentangnya.
***
Saat duduk di kelas
satu SD, Pak Sukar meminta kami, satu persatu, untuk mengeja kata, yang ia
tulis di papan. Seperti yang kubilang kawan. Jika muridnya tak bisa mengeja,
Pak Sukar akan memukul punggung kami dengan bilah bambu. Kelet, Kandik, Jeki,
Jaen, Peri, Patah Polak, semuanya pernah dipukul. Tidak hanya sekali, tapi
berkali-kali. Aku pun demikian.
Ada satu masa, entah
apa yang membuat saya begitu cerdik. Bukan cerdas kawan. Ini layaknya akal si
Kancil. “Aku boleh dipukul setiap salah mengeja kata. Tapi aku tidak boleh
merasa sakit”, pikirku. Ide itu muncul spontan saja di pikiranku. Ah, malam itu
terasa begitu panjang sekali. Aku tak sabar dengan datangnya pagi. Aku ingin
bertemu Pak Sukar. Aku ingin buktikan ide cerdikku, sekali ini.
Pagi itu aku bangun
cepat. Seperti biasa, aku dan kawan-kawan biasa mandi di kolam Masjid Atas.
Bila airnya mengering kami biasanya mandi di sumur pompa air di Masjid Atas.
Masjid Atas adalah Masjid tua di kampung kami. Masjid lambang perlawanan
terhadap Islam Waktu Telu di kampungku.
Aku bergegas berangkat
ke sekolah. Kami tidak biasa sarapan di rumah. Biasanya kami sarapan di jalan.
Kami buat ’tekotan’, semacam mangkok yang kami bentuk dari daun pisang.
Kami tiba di sekolah beratap seng berkarat itu. Entah berapa tahun umur seng renta
itu. Tak pernah diganti-ganti. Bila musim hujan, air akan menggenang di kelas.
Atapnya bocor. Air juga merembes membasahi dinding kelas. Catnya mulai memudar. Bahkan sudah ada yang berlumut.
Sekolah kami juga tak memiliki dinding pembatas. Apalagi pintu
gerbang. Kami sering jumpai kotoran binatang di teras, depan kelas kami. Anak-anak
kampung di sekitar sekolah kami pun, sering berak di lapangan sekolah.Kini sekolah itu sudah nampak lebih baik.
***
Lonceng berbunyi. Kami
masuk kelas. Jam pertama adalah belajar membaca. Yes, Pak Sukar sudah datang.
Hatiku gembira. Pak Sukar masuk kelas dan mulai mengajar kami. Satu persatu
kemampuan kami dijajaki. Kandik, Lehel, Patah Polak, Isyah Esot, Erlan Melong,
Jaen, Celuneng, Ceroh, Jaen, Kelet, semuanya tak lepas dari bilah bambu. Mereka
meringis. Sisi bibir kiri mereka terangkat spontan. Meski meringis, tak ada
yang menangis. Tidak ada yang melapor ke orang tua. Bila mereka melapor, orang
tua mereka memiliki bilah bambu lebih besar dari Pak Sukar.
Tibalah giliranku. Aku
disuruh mengeja. Entahla, aku tak ingat kata yang ditulis Pak Sukar waktu itu.
Yang Aku ingat “aku tak bisa mengeja”. Setiap kata yang ditulis Pak Sukar tak
dapat kukenali. Huruf-hurufnya bagai bilah bambu semua. Mulutku kelu. Aku tetap
tenang. Saatnya menjalankan ideku. Plak!. . Bilah bambu mendarat aman di
punggungku. Aku nyengir, macam senyum kuda. Berkali-kali pundakku dipukul. Aku
nyengir. Aku tak meringis sakit. Aku seakan merasa punya ilmu kebal. Kau tahu
kawan, kenapa aku tak meringis? Sebab aku memakai tas ransel. Di dalamnya kuisi
buku-buku. Tapi tas ransel itu hanya bertahan sebentar, sebab aku pandai
membaca. Itu karena gebukan Pak Sukar.
Pak Sukar amat
berjasa. Ia menjadikan kami melek literasi. Tidak hanya itu, ia sering menjaga
kami agar tidak kabur bila “Tukang Suntik” itu datang. Sebab Aku pernah merusak
kawat jendela kelas, karena takut disuntik. Itu dulu. Apakah Pak Sukar marah?
Tidak. Bila kami berkelahi, apakah ia menggunakan bilah bambu mendamaikan kami?
Tidak. Bila kami pukul-pukul meja, apakah ia menjadi bringas? Tidak. Sekarang
kau tahu kawan, kapan bilah bambu ia gunakan.
Bilah bambu itu itu
telah menjadi tangga. Ia menghantarkanku menuju altar megah ini. Terima kasih
Pak Guru!, tanpamu apa jadinya aku.
Kuala Lumpur, 25 Novempber 2017.
Prosmala Hadisaputra
Ph.D Student in Islamic Education
University of Malaya-Kuala Lumpur
Malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar