Senin, 27 November 2017

FATHANAH MINUS AMANAH = MUSIBAH

(Ini tulisan lama, tapi masih relevan, in sya Allah)
**********************************
Nama “Ahmad Fathanah” menjadi buah bibir khalayak, setelah kasus impor sapi ramai meyeruak. Pemberitaannya di media semakin membludak. Di TV, radio, koran, majalah dan internet namanya menjadi pergunjingan orang banyak. Reating “negatif”-nya di dunia maya menjadi makin menanjak.  Reputasi dan martabatnya pun kian hari kian terkoyak. Terlebih setelah aliran dana kepada sejumlah wanita dekatnya terkuak. Di antara mereka ada yang menerima ratusan juta fulus. Ada juga yang mendapatkan mobil mulus. Juga perhiasan, intan berlian dan aksesoris lain yang bagus-bagus. Tampang Fathanah dan teman-teman wanitanya menjadi incaran kamera awak media. Beritanya pun menjadi bukan sekedar berita biasa. Beritanya dikemas dengan beranekaragam tema dan model acara. Singkat kata, Ahmad Fathanah telah menjadi primadona media.
Di lain pihak, ketika Fathanah cs disibukkan oleh pertanyaan-pertanyaan penyidik KPK. Tidak sedikit di antara warga masyarakat yang melayangkan kata “sayang seribu sayang”, bahkan caci maki terucap tegang. Mereka menyayangkan sikap Fathanah yang telah mencedrai nama baik dirinya, keluarga,  kelompok dan agamanya. Mereka mencaci-maki kecerdasan (sifat fathanah) yang di milikinya, yang digunakannya untuk hal-hal yang tidak bermoral semacam korupsi, rasuah dan dugaan gratifitasi seks dan money loundry. Kecerdasan yang dinugerahi Tuhan kepadanya, benar-benar telah mengantarkan dirinya kepada suatu masa kehinaan dan kehancuran dalam hidupnya. Rasa dingin di balik jeruji besi sudah mengancam. Penyitaan dan pemiskinan dari KPK menjadi sesuatu yang menakutkan dan mencekam. Masa depan pun kian menunjukkan suram. Lembaran kehidupan yang dulu terang kini berangsur-angsur buram. Semuanya hanya karena sifat fathanah, yang tidak dibarengi oleh sifat amanah. Sehingga dapat dirumuskan; Sifat Fathanah – Sifat Amanah = Musibah atau secara gamblang kerangka pikir tersebut senada dengan; Cerdas – Jujur = Hancur.
Dari penggalan kisah Ahmad Fathanah tersebut, rumus sederhana di atas muncul. Mungkin inilah hikmah yang dapat dijadikan ibrah atau pelajaran bagi kita semua, agar senantiasa mensinergikan antara sifat fathanah dan amanah. Pembaca yang terhormat, marilah kita tinggalkan kisah runyam Ahmad Fathanah dan bidadari-bidadari yang mengitarinya, dan marilah kita berdikusi tentang rumus sederhana diatas.
Pembaca – rahimakumullah -, sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa sifat fathanah merupakan salah satu dari empat sifat tauladan rasululullah. Fathanah dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan kata cerdas atau pintar. Penyandingan sifat inilah yang mungkin banyak menggugah para cendekia, pemikir dan pengkaji tema-tema keislaman untuk mereinterpretasi terhadap “ke-ummi-an” rasulullah. Dalam artian, selama ini rasulullah selalu diidentikkan dengan sifat ummi, yang ditafsirkan oleh sejumlah ulama’ sebagai orang yang tidak cakap membaca dan menulis (laa yaqra’u wa laa yaktubu). Kondisi ini menjadi tidak sinkron, manakala satu pihak mengatakan bahwa rasulullah memiliki sifat cerdas, dan satu pihak mengatakan buta huruf.
Masing-masing ulama’ memiliki alasan masing-masing. Yang menyatakan rasulullah cerdas karena memang dalam sejarahnya, rasullah terkenal sebagai manusia yang sempurna (insaanun kaamilun). Beliau seorang niagawan yang sukses dalam perniagaan. Dan sangat mustahil jika itu semua diraih tanpa sifat fathanah. Rasulullah adalah seorang nabi yang berdakwah tidak hanya melalui medium lisan semata, tapi juga via surat menyurat (korepondensi) seperti surat yang dibuatnya kepada kaesar Heraclius dan raja lainnya. Jadi, sangat mustahil jika rasulullah tidak bisa membaca dan menulis dan masih banyak fakta sejarah yang tidak dapat dibantah kebenarannya, mengenai sifat fathanah rasulullah. Bagi yang mengatakan bahwa rasulullah adalah ummi, tiada lain maksud para sahabat, tabi’in dan ulama’ adalah untuk melindungi rasulullah dari fitnah orang-orang yang mencari-cari titik kelemahan al-Qur’an.
Sifat fathanah yang disandang oleh rasulullah, sesungguhnya telah memberikan ruang dan gerak yang luas bagi rasulullah dalam menyampaikan risalah yang diembannya, sehingga Islam dapat disampaikannya dengan mudah, baik dan benar, serta dapat diterima oleh masyarakat Mekkah pada saat itu. Dengan sifat tersebut, rasulullah mampu menyampaikan kepada umatnya berupa ayat-ayat al-Qur’an dan wahyu lainnya yang diturunkan oleh Allah kepadanya. Tidak hanya itu, rasulullah juga amat cerdas dalam membaca kondisi sosial, budaya, kepercayaan, kebutuhan dan ragam hidup masyarakat jahiliyah saat itu. Kecerdasan yang dianugerahi tersebut tidak lantas membuatnya berangan-angan untuk mengeruk keuntungan berupa harta, tahta dan wanita dengan melakukan penipuan, pembohongan dan pembodohan public terhadap masyarakat Mekkah. Sekalipun Beliau pernah ditawarkan bahkan disuap oleh kafir Qurays untuk “pansiun dini” menjadi seorang nabi dan rasul, dengan iming-iming kekuasaan, jabatan, harta dan berbagai layanan kepuasaan. Kecerdasan yang dimilikinya sungguh dijadikannya sebagai sesutu yang membawa maslahat bagi Islam dan semesta alam.
Kemampuan rasulullah dalam mengendalikan sifat fathanahnya, tidak lain karena Ia juga mengiringinya dengan sifat amanah, jujur dan enggan berkhianat. Sudah menjadi rahasia publik, betapa banyak orang yang pintar, cerdas, dan memiliki sifat fathanah, namun tidak lain yang terjadi hanya ketidakjujuran, kemunafikan, pembodohan dan penyesatan. Ilmu yang dimiliki tidak lagi menjadi sesuatu yang melindungi diri dari segala bentuk sikap dan perilaku amoral. Ilmu yang dikuasai seakan-akan menjadi alat pengeruk kepuasan duniawi semata dan mencampakkan sifat amanah. Siapa yang tidak tahu bahwa para koruptor di negeri ini adalah orang-orang yang terdidik, orang yang cerdas dan mengerti hukum, tidak hanya itu mereka juga paham soal agama.
Oleh karena itu sifat amanah memberikan kontribusi yang besar dalam mengendalikan sifat fathanah seseorang. Amanah tidak lain merupakan monitor yang mengendalikan kepintaran manusia, agar kecerdikan yang dimilikinya tidak disalahgunakan dalam mengemban tugas sebagai pemimpin, karyawan, pengusaha dan intinya khalifah di muka bumi ini. Akhirnya, semoga kita selalu dimudahkan dalam mengemban tugas yang telah diamanatkan kepada kita. Wallahu a’lam bisshawaab.

Prosmala Hadisaputra

Pengajar di Ponpes Selaparang Kediri
Lombok Barat

Awardee LPDP-PK-89
Ph.D Student in Islamic Studies
University of Malaya 
Kuala Lumpur-Malaysia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar